Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Final Piala Eropa 2024, Ajang Pembuktian Gareth Southgate

14 Juli 2024   09:49 Diperbarui: 14 Juli 2024   12:31 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelatih Timnas Inggris, Gareth Southgatr usai membawa timnya ke final Piala Eropa 2024. | Foto: KOMPAS.COM

Partai final Piala Eropa 2024 antara Spanyol melawan Inggris akan berlangsung di Olympiastadion Berlin, (15/07/2024) dini hari waktu Indonesia. Ini adalah final kedua secara beruntun bagi Southgate dan sekaligus akan menjadi ajang pembuktian terbesar baginya. 

Piala Eropa 2024 sudah memasuki partai puncak. Spanyol dan Inggris akan bentrok di final untuk memperebutkan gelar juara. Di semifinal, Inggris dikepung oleh negara yang pernah juara. 

Prancis, Spanyol, dan Belanda sudah mencicipi gelar juara. Hanya Inggris saja yang belum pernah menjuarai kompetisi antarbenua biru tersebut. Meskipun dikelilingi para juara, Southgate mampu membawa timnya back to back ke final Piala Eropa. 

Di final The Three Lions akan ditantang La Furia Roja Spanyol. Di atas kertas, Spanyol lebih diunggulkan karena tampil konsisten sejak fase grup. Hal ini berbeda dengan Inggris yang masih mencoba meramu tim terbaiknya. Meski begitu, selalu ada faktor X yang membuat Inggris bisa tampil di final. 

Perjalanan Inggris

Sejak awal turnamen, Inggris menjadi tim favorit juara karena komposisi tim diisi pemain mumpuni. Akan tetapi, status tersebut perlahan luntur seiring dengan peforma Inggris di fase grup. Banyak yang mengatakan, Inggris selalu hoki. Atau dalam dunia sepak bola, Inggris selalu dinaungi dewi fortuna. 

Di babak grup, penampilan Inggris tidak terlalu mengesankan. Inggris hanya mencetak dua gol dan kebobolan satu gol. Satu-satunya kemenangan Inggris di fase grup saat melawan Serbia. 

Dua laga sisanya melawan Denmark dan Slovenia, Inggris hanya mampu bermain imbang. Bahkan pada laga terakhir kontra Slovenia, fans Inggris sampai melempari Southgate karena kecewa dengan penampilan anak asuhannya. 

Di fase gugur pun saat melawan Slovakia, penampilan Inggris masih kurang baik. Inggris terlihat kesulitan menghadapi Slovakia bahkan harus tertinggal lebih dulu. Untung saja Bellingham dan Harry Kane mampu menyelamatkan Inggris dari kekalahan.

Penampilan Inggris yang tidak konsisten terlihat karena Southgate seperti bingung meracik tim terutama di lini tengah. Southgate bingung mencari tandem Declan Rice.

Pada awal laga, Southgate menaruh Trent Alexander Arnold di lini tengah bersama Rice. Pemain asal Liverpool itu sejatinya bermain di bek kanan. Alhasil, penampilan Inggris belum memuaskan. 

Southgate lalu memasang Conor Gallagher dan hasilnya pun tidak jauh berbeda. Namun, yang menjadi pembeda adalah pemain muda Manchester United Kobbie Mainoo. Mainoo seakan menjadi kepingan yang hilang di lini tengah Inggris. 

Di sisi lain, pemain depan seperti Harry Kane, Jude Bellingham, dan Bukayo Saka tidak kalah penting. Ketiga pemain itu kerap menjadi penyelamat Inggris, entah sebagai penyama kedudukan atau penentu kemenangan. 

Tentu titik balik Inggris saat melawan Swiss. Laga ini pula yang membuat Southgate membuat pakem Rice Mainoo di lini tengah. Meski tidak bisa menang dalam waktu normal, akan tetapi permainan Inggris jauh lebih baik. 

Di sisi lain, Inggris juga tampil apik saat adu penalti kontra Swiss. Lima eksekutor Inggris sukses menunaikan tugas dengan sempurna. Pickford pun tampil baik di babak ini karena berhasil menahan tendangan penalti Akanji. 

Momentum itu kemudian diteruskan saat melawan Belanda. Meski Inggris tertinggal lebih dulu, akan tetapi Inggris lagi-lagi bisa mencetak gol di menit terakhir melalui pemain pengganti Watkins.

Dari enam pertandingan yang dijalani Inggris, empat di antaranya Inggris selalu tertinggal lebih dulu. Akan tetapi, Inggris selalu terhindar dari kekalahan. Bahkan berbalik menang. Ini menjadi semacam faktor X yang dibutuhkan untuk menjadi juara. 

Tentu kita akan melihat apakah faktor X itu akan datang saat melawan Spanyol atau tidak. Mengingat, Spanyol saat ini menjadi tim paling difavoritkan juara karena permainan impresifnya. 

Spanyol yang superior 

Berbeda dengan Southgate, Luis de La Fuenta sudah menemukan pakem terbaik untuk timnya. Tidak banyak perubahan yang terjadi. Kecuali jika ada pemain cedera. Misalnya saat Spanyol melawan Jerman, Pedri harus keluar karena cedera usai dilanggar Toni Kroos. 

Luis de La Fuenta tidak ambil pusing karena masih ada Dani Olmo. Terbukti, Dani Olmo tampil apik saat itu. Olmo mencetak satu gol dan satu assist. Hasil itu cukup untuk memulangkan Jerman di Piala Eropa kali ini. 

Olmo pun konsisten. Ia menjadi penentu kemenangan saat Spanyol melawan Prancis. Olmo telah mencetak tiga gol dan menjadi kandidat kuat peraih top score. 

Di lini depan, Spanyol juga stabil. Pemain ajaib Lamine Yamal dan Nico Williams mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Yamal bahkan mampu mencetak gol cantik ke gawang Prancis di semifinal. Penampilan Yamal pun begitu ciamik. Ia mencetak tiga assist dan satu gol. 

Dari fase grup hingga final, permainan Spanyol selalu konsisten. Spayol bahkan menyapu semua laga dengan kemenangan tentu hasil yang sempurna. Dengan hasil itulah secara di atas kertas Spanyol lebih diunggulkan dariapada Inggris. 

Jika Inggris butuh faktor X untuk menang, tentu Spanyol tidak demikian. Penampilan dari fase grup hingga final sudah cukup membuktikan bahwa tim ini memang layak juara dan superior dibanding tiga kontestan lain di semifinal. 

Pembuktian Southgate

Satu-satunya gelar internasional Inggris adalah Piala Dunia 1966. Setelah itu, tak ada lagi gelar yang datang ke Inggris. 

Tahun 1996 Inggris menjadi tuan rumah Piala Eropa. Ini adalah kesempatan yang bagus bagi Inggris untuk meraih gelar internasional sejak tiga puluh tahun lalu. 

Inggris lolos ke semifinal. Hanya saja kalah di babak adu penalti dari Jerman. Gareth Southgate yang saat itu masih menjadi pemain gagal menunaikan tugasnya dengan baik. Sepakannya membentur tiang. 

Seperempat abad kemudian, Southgate membawa Inggris ke final Piala Eropa 2020. Satu langkah lagi Inggris bisa juara dan slogan football its coming home benar-benar akam terjadi. 

Hanya saja, Inggris kalah dari Italia. Maka football its coming home berubah menjadi football its coming to Rome. 

Kali ini, Southgate kembali membawa Inggris ke final. Jika saat ia masih bermain Inggris gagal di babak adu penalti. Tentu Southgate tidak mau hal itu terjadi. Adu penalti seakan membawa trauma masa lalu bagi Southgate. 

Akan tetapi, hal itu seperti mulai bisa diatasi terutama saat menang adu penalti dengan sempurna melawan Inggris. 

Kemenangan atas Swiss di babak adu penalti adalah kemenangan ketiga dari empat ajang besar yang dilalui anak asuhan Southgate. Jika dulu Inggris seakan dibuat trauma di babak adu penalti, kini rasanya mereka lebih percaya diri. 

Jika Southgate mampu mebawa Inggris juara, tentu ini adalah pencapaian terbesar dalam kariernya. Dan tentu saja, slogan football its coming home akan benar-benar terjadi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun