Beberapa waktu lalu, di media sosial ramai antrean pelamar kerja di warung seblak. Antrean didominasi perempuan yang kompak memakai baju hitam putih. Tentu ada harapan besar di balik amplop cokelat yang mereka bawa, ya sebuah pekerjaan.Â
Dilihat dari sekilas pun, para pelamar itu masuk kategori gen z. Hal ini semakin menegaskan data yang dihimpun kompas benar, di mana gen z sulit mencari kerja di sektor formal.Â
Hasil temuan kompas dan BPS pada bulan Februari 2009, 2014, 2019, dan 2024 menunjukkan adanya tren penurunan penciptaan lapangan kerja di sektor formal.Â
Pekerjaan sektor formal yang dimaksud adalah pekerjaan dengan perjanjian perusahaan berbadan hukum.Â
Pada periode 2009-2014, lapangan kerja sektor formal menyerap 15,6 juta orang. Periode selanjutnya, yaitu 2014-2019 menurun menjadi 8,5 juta orang. Periode selanjutnya 2019-2024 kian menurun, hanya menyerap 2 juta orang.Â
Selain menyempitnya lapangan kerja di sektor formal, angka pengangguran di kalangan gen z juga cukup tinggi.Â
Menurut BPS, hampir 10 juta penduduk Indonesia berusia 15-24 (gen z) mengganggur atau tanpa kegiatan (not in employment, education, and traing NEET).
Jika dirinci, sebanyak 5.2 juta anak NEET justru berada di perkotaan. Sementara sisanya, 4.6 juta di pedesaan.Â
Menurut Menaker Ida Fauziah, hal tersebut terjadi karena ketidaksesuaian jenjang pendidikan dengan lapangan kerja yang tersendia. Itu sebabnya, banyak dari mereka justru lari pada sektor pekerjaan nonformal seperti gambaran warung seblak di atas.Â
Jika praktik nepotisme terus terjadi hingga ke akar rumput, maka cita-cita Indonesia emas hanya sebatas omong kosong.Â
Hal itu karena praktik nepotisme hanya akan mematikan talenta yang benar-benar berkapasitas dan berintegritas yang ingin masuk dunia kerja lewat sistem meritokrasi.Â