Jadi, selama ada aturan pejabat negara boleh kampanye, potensi konflik kepentingan akan terus ada. Bukan tak mungkin, dalam rangka kerja selalu terselip kampanye terselubung.Â
Tindakan mencampuradukan seperti itu jelas tidak etis. Lebih dari itu, jika pejabat negara ingin kampanye, sebaiknya mengundurkan diri dari posisi yang sedang dijabat.Â
Atau, batasan yang bisa digunakan adalah, tak masalah jika Presiden hingga kepala daerah kampanye selama ia adalah calon yang ikut serta dalam kontestasi pemilu.Â
Etika politikÂ
Bagi sebagian orang, tak menyalahi aturan adalah benar. Tapi, ada yang lebih penting dari sekadar aturan, yaitu etika. Jadi, secara aturan memang tidak masalah, tapi secara etika cacat. Mengapa demikian?Â
Etika atau nilai kedudukannya jauh lebih tinggi dari aturan atau undang-undang. Etika yang melahirkan hukum (jika kita maknai hukum adalah undang-undang).Â
Undang-undang adalah realisasi nilai dan etika yang abstrak. Oleh sebab itu, etika tak selalu tertulis karena kedudukannya lebih tinggi.
Dalam hal ini, meski secara aturan tak masalah, tapi bagi saya secara etika cacat. Mengapa demikian? Presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintah yang membawahi TNI, Polri, dan lembaga negara lainnya.Â
Bayangkan saja, jika presiden tidak netral dalam pemilu, apakah pemimpin dari masing-masing lembaga itu akan netral? Lalu ASN yang ada di lembaga itu akan netral juga? Jelas meragukan.Â
Itu sebabnya hanya omong kosong ASN harus netral selama atasannya boleh tidak netral. Apa yang ditunjukkan oleh Jokowi jelas bukan contoh negarawan yang baik.Â
Oleh sebab itu, aturan yang membolehkan pejabat negara, kepala daerah yang kampanye harus dipertegas agar mengundurkan diri dalam posisinya. Itu jauh lebih elegan daripada mengambil dua tindakan sekaligus, yaitu tugas negara dan tim pemenagan.Â
Sejatinya, presiden harus berperan sebagai pemabawa angin sejuk tak kala pemilu kian panas. Tapi, apa yang kita lihat hari ini, presiden tidak menunjukkan hal itu sama sekali.Â