Bisa dibilang, Timnas Indonesia era pelatih Shin Tae-yong (STY) getol melakukan naturalisasi meski ada syarat yang harus dipenuhi, yaitu memiliki garis keturunan Indonesia dan bermain di liga luar atau bisa disebut pemain Grade A.Â
Hanya Marc Klok saja pemain yang tidak memiliki garis keturunan Indonesia yang memperkuat Timnas. Mungkin, Marc Klok adalah pemain terakhir yang akan menempati posisi itu.Â
Ketika kualifikasi Piala Asia lalu, seingat penulis pemain Timnas Indonesia hampir dihuni oleh pemain lokal. Hanya ada Elkan Baggott meski sebenarnya ia tidak melalui proses naturalisasi karena ketika memilih kewarganegaraan ia memilih Indonesia. Selebihnya adalah pemain Indonesia murni.Â
Namun, setelah lolos ke Piala Asia 2023, Shin Tae-yong meminta kepada PSSI agar melakukan proses naturalisasi kepada pemain Grade A yang bermain di Eropa dengan catatan memiliki garis keturunan Indonesia.Â
Hingga kini, sudah ada tujuh pemain naturalisasi yang siap memperkuat Timnas Indonesia di Piala Asia 2023 yaitu Marc Klok, Jordi Amat, Sandy Walsh, Justin Hubner, Shayne Pattynama, Rafael Struick, dan Ivar Jenner.Â
Tidak bethenti di situ, hingga saat ini proses naturalisasi tetap berjalan untuk melanjutkan sisa Kualifikasi Piala Dunia 2026.
Naturalisasi Era STY
Jika kita tarik ke belakang, sebetulnya cukup beralasan STY meminta pemain naturalisasi. STY memang sejak awal dijanjikan akan membesut Timnas U-20 yang bermain di Piala Dunia nanti. Tapi keadaan berkata lain sehingga gelaran itu batal.Â
Akan tetapi, proses perekrutan pemain keturunan tidak berhenti. Pemain pertama yang dinaturalisasi adalah Jordi Amat. Ia memiliki pengalaman yang luar biasa mengingat pernah bermain di La Liga.
Tentu dengan segudang pengalaman itu, Jordi Amat dibutuhkan untuk mengawal lini pertahanan Indonesia. Ia lalu disumpah sebagai WNI pada tahun 2022 lalu dan menjalani debut di Piala AFF 2022.
Selain Jordi Amat, Sandy Walsh pun ikut disumpah sebagai WNI berbarengan dengan Jordi Amat. Akan tetapi, keduanya gagal tampil di Kualifikasi Piala Asia yang berlangsung di Kuwait.Â
Sandy yang berposisi sebagai bek kanan itu beberapa kali gagal debut karena cidera. Sandy menjalani debut perdana bersama Timnas Indonesia di FIFA Matchday saat melawan Turkmenistan pada tahun 2023 lalu.Â
Januari 2023, Shayne Pattynama disumpah sebagai WNI. Amunisi lini belakang kembali bertambah. Shayne debut perdana saat melawan Argentina di FIFA Matchday.Â
Selain tiga pemain di atas, ada tiga pemain yang sejak awal diproyeksikan untuk bermain di Piala Dunia U-20 yaitu Justin Hubner, Ivar Jenner, dan Rafael Struick.Â
Justin yang memperkuat Wolverhampton sempat ragu dan bahkan menolak. Hal itu karena ia sempat dipanggil Belanda U-21 dan akhirnya ia mengajukan kembali proses naturalisasi kepada PSSI.Â
Hubner menjalani debut perdana saat melawan Libya beberapa waktu lalu. Jika melihat performanya, permainan Hubner menjanjikan meski melakukan blunder.Â
Pemain lain yaitu Ivar dan Rafael tetap melanjutkan proses naturalisasi. Keduanya bermain saat Timnas Indonesia melawan Argentina. Selain itu, Ivar dan Rafael bermain di Kualifikasi Piala Asia U-23 dan untuk pertama kalinya Indonesia lolos ke putaran final.Â
Semua pemain di atas dipastikan akan bermain di Piala Asia 2023. Komposisi pemain lebih banyak pemain belakang, satu gelandang, dan satu penyerang.
Proses naturalisasi tidak berhenti disitu, ada Jay Idzes dan Thom Haye yang baru-baru ini disumpah Desember 2023 lalu.Â
Meski begitu, keduanya tidak didaftarkan ke Piala Asia 2023 karena pendaftaran pemain ditutup. Keduanya sangat mungkin bermain di Kualifikasi Piala Dunia 2026.
Terbaru, Maarten Paes dikonfirmasi oleh Erick Thohir akan menjalani proses naturalisasi. Pemain yang berposisi sebagai kiper itu diproyeksikan bisa bermain di Kualifikasi Piala Dunia 2026.
Ironi di balik pemain naturalisasiÂ
Jika dibanding naturalisasi sebelumnya, sebetulnya jauh lebih terarah. Hal itu karena tidak asal-asal. PSSI menetapkan standar yaitu memiliki garis keturunan dan bermain di luar Indonesia.Â
Jadi, sebenarnya bagi penulis tidak jadi masalah karena selama memiliki garis keturunan ia berhak memperkuat Timnas Indonesia.Â
Seain itu, penulis juga memiliki pandangan tersendiri soal naturalisasi karena dari sisi Undang-undang Kewarganegaraan perlu direvisi terutama pasal kewarganegaraan ganda. Selengkapnya bisa dibaca di sini.
Namun, di balik jor-joran PSSI melakukan naturalisasi tidak lepas dari kritik. Masih ada yang berpandangan jika proses ini mempersempit peluang pemain lokal untuk memperkuat Timnas.Â
Sekali lagi, para pemain memiliki darah Indonesia sehingga memiliki hak yang sama. Menurut hemat penulis, kritik seharusnya bukan dialamatkan pada pemain tapi kepada PSSI.Â
Mengapa demikian? Hal itu karena secara tidak langsung PSSI gagal melakukan pembinaan pemain sehingga harus meminta bantuan kepada pemain luar yang bukan merupakan hasil dari binaan dalam negeri.Â
Itu artinya, kualitas pemain binaan kita masih di bawah. Tentu ini sebuah ironi. PSSI lebih memilih jalan pintas bukan memperbaiki sistem pembinaan usia muda hingga kompetisi liga yang kompetitif.Â
Tentu tidak salah meminta pemain luar, hal itu karena mereka lahir dari negara yang mana sistem pembinaan sepak bola sudah berjalan baik. Seharusnya, selain melakukan proses instan itu, PSSI harus memperbaiki pembinaan usia dini dan kompetisi.Â
Artinya, jika kita ingin menciptakan pemain selevel mereka, maka sistem sepak bola kita yang harus dibenahi. Dari sisi kompetisi usia muda, hanya ada Elite Pro Academy.Â
Seharusnya ada jenjang usia, misalnya U-16, U-19, dan U-21. Sehingga para pemain muda bisa mendapat menit bermain di sana. Bukan dengan aturan klub Liga 1 harus memainkan pemain muda 45 menit.Â
Bermain reguler di komeptisi umur tentu akan mematangkan permainan. Jadi, ketika ada event internasional kelompok umur baik itu AFF, SEA Games atau Asian Games tidak mengganggu klub Liga 1. Jika sudah ada liga kelompok umur, pelatih tinggal ambil pemain di sana.
Sehingga konflik antara Thomas Doll dan Shin Tae-yong mungkin tidak akan terjadi. Selain itu, di kompetisi tertinggi, alangkah lebih baik dibuat kompetisi lain selain Liga 1. Misalnya hidupkan kembali Piala Indonesia.Â
Jadi, untuk mencetak pemain Grade A tadi, sistem pembinaan, kompetisi usia muda, dan kasta teratas harus terarah. Jika ini bisa diperbaiki, penulis yakin bukan tidak mungkin pemain lokal kita bisa bersaing.Â
Namun, PSSI justru memilih jalan instan daripada memperbaiki akar masalahnya. Timnas yang hebat lahir dari kompetisi dan pembinaan yang benar.
Kita bisa melihat Jepang, jika semuanya sudah tertata rapi dari bawah, Jepang menjadi raja di Asia. Sebuah ironi, padahal dulu Jepang belajar dari kita, tapi kita yang tertinggal.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H