Jadi, sebenarnya bagi penulis tidak jadi masalah karena selama memiliki garis keturunan ia berhak memperkuat Timnas Indonesia.Â
Seain itu, penulis juga memiliki pandangan tersendiri soal naturalisasi karena dari sisi Undang-undang Kewarganegaraan perlu direvisi terutama pasal kewarganegaraan ganda. Selengkapnya bisa dibaca di sini.
Namun, di balik jor-joran PSSI melakukan naturalisasi tidak lepas dari kritik. Masih ada yang berpandangan jika proses ini mempersempit peluang pemain lokal untuk memperkuat Timnas.Â
Sekali lagi, para pemain memiliki darah Indonesia sehingga memiliki hak yang sama. Menurut hemat penulis, kritik seharusnya bukan dialamatkan pada pemain tapi kepada PSSI.Â
Mengapa demikian? Hal itu karena secara tidak langsung PSSI gagal melakukan pembinaan pemain sehingga harus meminta bantuan kepada pemain luar yang bukan merupakan hasil dari binaan dalam negeri.Â
Itu artinya, kualitas pemain binaan kita masih di bawah. Tentu ini sebuah ironi. PSSI lebih memilih jalan pintas bukan memperbaiki sistem pembinaan usia muda hingga kompetisi liga yang kompetitif.Â
Tentu tidak salah meminta pemain luar, hal itu karena mereka lahir dari negara yang mana sistem pembinaan sepak bola sudah berjalan baik. Seharusnya, selain melakukan proses instan itu, PSSI harus memperbaiki pembinaan usia dini dan kompetisi.Â
Artinya, jika kita ingin menciptakan pemain selevel mereka, maka sistem sepak bola kita yang harus dibenahi. Dari sisi kompetisi usia muda, hanya ada Elite Pro Academy.Â
Seharusnya ada jenjang usia, misalnya U-16, U-19, dan U-21. Sehingga para pemain muda bisa mendapat menit bermain di sana. Bukan dengan aturan klub Liga 1 harus memainkan pemain muda 45 menit.Â
Bermain reguler di komeptisi umur tentu akan mematangkan permainan. Jadi, ketika ada event internasional kelompok umur baik itu AFF, SEA Games atau Asian Games tidak mengganggu klub Liga 1. Jika sudah ada liga kelompok umur, pelatih tinggal ambil pemain di sana.
Sehingga konflik antara Thomas Doll dan Shin Tae-yong mungkin tidak akan terjadi. Selain itu, di kompetisi tertinggi, alangkah lebih baik dibuat kompetisi lain selain Liga 1. Misalnya hidupkan kembali Piala Indonesia.Â