Menariknya sikap masyarakat berbeda. Pada saat itu, dukungan pada Rohingya mengalir begitu deras. Mungkin karena pengalaman pertama itulah Rohingya kembali memilih Indonesia.Â
Akan tetapi, reaksi berbeda terjadi hari ini. Rohingya seakan tidak lepas dari narasi negatif. Ada perbedaan sikap di masyarakat. Mengapa bisa demikian?Â
Minsinformasi dan peran influencerÂ
Penolakan terhadap Rohingya mulai terasa. Akan tetapi, yang disayangkan adalah narasi yang dibawakan adalah hoax.Â
Misalnya ada narasi yang menyebut bahwa Rohingnya demo di Malaysia meminta tanah. Padahal, faktanya mereka berdemo agar Junta Militer menhentikan aksi genosida.Â
Parahnya lagi, informasi hoax tersebut diplintir oleh influencer baik itu di tiktok atau di instagram. Mereka yang memiliki pengikut yang besar itu sangat berpengaruh dalam menebarkan kebencian pada Rohingya.Â
Selain itu, banyak konten sepotong-sepototong mengenai Rohingya yang membuat netizen tersulut. Potongan-potongan tidak jelas itu dibagikan oleh akun anonim dengan pengikut yang besar.Â
Menurut analisa Drone Emprit, sentimen negatif sering dilontarkan oleh akun fanbase hingga akun meme.Â
Menurut hemat penulis, akun-akun itu seperti menyiram bensin di percikan api. Belum lagi, potongan-potongan sepotong itu disebarkan lagi oleh influencer tidak bertanggung jawab.Â
Pada akhirnya misinformasi ini menyebar luas dan masyarakat mulai terpengaruhi. Misalnya salah satu video Rohingnya diberi uang saku sebanyak Rp. 1 juta lebih dibawakan dengan dengan narasi buruk.
Banyak influencer yang membandingkan dengan masyarkat Indonesia yang harus banting tulang agar mendapatkan uang. Sementara mereka hanya diam tapi diberi uang gratis. Tentu narasi provokatif ini sangat berpengaruh.Â
Padahal video yang diambil tidak utuh. Uang yang diberikan pada Rohingya berasal dari IOP bukan dari APBN kita. Tapi, karena ulah segelintir influencer tak beretika menutup mata soal fakta ini.Â