Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ironi Kinderflix, Konten Edukasi Anak yang Menjadi Objektifikasi Tubuh Perempuan

8 November 2023   10:09 Diperbarui: 8 November 2023   10:22 821
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. | Foto: Antara

Bagi yang memiliki anak kecil tentu sudah hafal beberapa chanel YouTube anak. Saya sendiri mengetahui itu karena keponakan sering menonton. Saya familiar dengan lagu "roda pada bus berputar-putar."

Saya juga familiar dengan abang-abang yang membuat konten mobil mainan. Karena konten itu, kuota pun cepat habis karena dipinjam keponakan. 

Saat ini, banyak konten yang menyasar anak-anak. Konten tersebut memang tak salah karena di dalamnya ada interaksi. Jadi, anak jauh lebih aktif karena beberapa konten di atas. 

Kinderflix merupakan chanel edukasi anak yang tengah naik daun. Kinderflix berisi konten edukasi anak yang mencakup banyak hal. Misalnya mengenal anggota tubuh dan yang lainnya. 

Selain itu, pembawa acara pun membawakan konten sangat interaktif. Jadi, tidak heran jika Kinderflix menjadi tontonan alternatif selain Cocomelon. 

Namun, di balik konten edukasi anak, ada sisi lain yang harus kita sikapi. Di media sosial, Kinderflix tidak hanya menjadi konsumsi anak-anak. Tapi para remaja hingga bapak-bapak. 

Banyak video yang menunjukkan bapak-bapak ikut berinteraksi langsung dengan Kak Nisa sang pembawa konten. Dari sisi itu, saya mewajarkannya karena terlihat lucu. 

Tapi, tidak sedikit juga yang mengobjektifikasi tubuh Kak Nisa dengan komentar tidak senonoh bahkan berujung pada pelecehan seksual. 

Padahal Kak Nisa berpakaian sopan, tertutup, dan sangat islami. Tapi, hal itu tidak cukup. Salah satu alasan bapak-bapak dan para remaja menonton Kinderflix karena sosok Nisa yang cantik. 

Para remaja dan bapak-bapak ini bukan menikmati konten karena jelas bukan untuk mereka. Tapi, mereka menonton Kinderflix hanya untuk melihat Nisa dan mengobjektifikasi tubuhnya saja. 

Pernyataan Kinderflix terkait komentar negatif di kontennya. | Foto: instagram.com/kinderflix.idn
Pernyataan Kinderflix terkait komentar negatif di kontennya. | Foto: instagram.com/kinderflix.idn

Tentu ini menjadi sebuah ironi. Konten yang seharusnya mengedukasi anak justru dijadikan objektifikasi tubuh perempuan oleh orang-orang yang tidak bermoral. 

Objektifikasi tubuh 

Di era konvensional, obejktifikasi tubuh seseorang dilakukan secara verbal. Misalnya dengan melakukan catcalling atau tatapan mata yang tidak senonoh. 

Saat ini, era sudah berubah menjadi serba digital. Objektifikasi tubuh dilakukan di media sosial dan tidak hanya menyerang perempuan saja tapi laki-laki pun sama. 

Tentu kita masih ingat saat Jonatan Christie bermain di Asian Games 2018 lalu. Jojo selalu membuka baju ketika meraih kemenangan. Aksi spontan Jojo ternyata digemari oleh sebagian fans tidak bermoral dan menjadikan tubuh Jojo sebagai objektifikasi seksual. 

Kita bisa melihat beberapa komentar yang bernada miring tersebut. Misalnya dengan komentar "rahimku hangat" atau sejenisnya. Dalam kasus Kinderflix, hal serupa pun terjadi. 

Banyak potongan komentar yang tidak senonoh yang menjurus pada pelecehan seksual. Tentu komentar itu tidak pantas padahal Kinderflix adalah konten edukasi bagi anak. 

Sejak awal peradaban manusia, perempuan selalu menjadi objektifikasi bagi laki-laki. Hampir dalam seluruh peradaban dibangun dalam sistem patriarkies, di mana laki-laki jauh lebih dominan dibanding perempuan. 

Dalam sejarahnya, kebanyakan yang menjadi pemimpin adalah laki-laki. Di antara pemimpin itu, banyak yang memiliki selir dan itu disimbolkan sebagai kejantanan. Perempuan ditempatkan hanya sebatas pemuas semata. 

Perempuan ditempatkan dalam posisi yang lemah karena kebanyakan dari mereka menjadi istri atau selir penguasa berdasarkan paksaan, konsolidasi politik, bahkan rampasan perang.

Menurut Fredrickson & Robert, orang-orang mengenang pria karena prestasinya atau karena keberaniannya dalam perang. Sedangkan wanita akan dikenang sebagai sosok yang cantik karena kontrolnya terhadap orang lain dengan mengobjektifikasi tubuhnya. 

Budaya patriarki itu terus dibawa hingga masa kini. Tubuh perempuan hanya dijadikan alat semata. Saya selalu berpikir mengapa sampul TTS zaman dulu selalu dihiasi wanita cantik. Tentu ada tujuan tersendiri yaitu agar orang-orang mau membelinya.

Di era saat ini, hal serupa terjadi. Tapi, di media sosial lagi. Jika dalam media hanya untuk menaikkan rating atau pendapatan, media sosial tidak berlaku demikian. 

Banyak perempuan yang mengunggah foto di media sosial bukan karena rating, tapi karena dia memang ingin mengunggah, tapi perlakuan objektifikasi tetap ada. 

Begitu juga dengan Kinderflix, sasaran konten mereka bukan orang dewasa. Tapi anak-anak. Untuk itu, Kinderflix menampilkan sosok yang ramah anak yaitu para talentnya termasuk Kak Nisa. 

Selain itu, pakaiannya pun sangat sopan karena serba tertutup. Artinya, Kinderflix memang sudah didesain untuk konten anak-anak agar anak jauh lebih interaktif. 

Tentu untuk chanel anak komentar dinonaktifkan oleh YouTube. Tapi, tidak di media sosial. Banyak cuplikan Kinderflix yang menampilkan Kak Nisa yang dengan komentar seksis.

Dengan ramainya komentar seksis itu, banyak pihak yang belum sadar akan perbuatannya. Banyak yang menyebut jika hal itu termasuk ke dalam candaan. 

Tapi, bagi saya candaan tidak perlu merendahkan martabat orang lain. Apalagi sampai mengobjektifikasi tubuh seseorang. Selain itu, kentalnya budaya partriarki masih mewajarkan hal di atas. 

Banyak yang salah paham soal pelecehan seksual. Bagi mereka yang tidak paham, pelecehan seksual hanya dimaknai perbuatan fisik saja. Padahal di era saat ini pelecehan seksual jauh lebih luas termasuk komentar seksis dengan mengobjektifikasi tubuh seseorang. 

Sebuah ironi memang, Kinderflix yang tadinya adalah konten edukasi anak justru menjadi bahan objektifikasi pihak yang tidak bertanggung jawab. 

Di luar itu, kita seharusnya lebih peka dengan korban. Tentu korban pelecehan seksual akan mengalami trauma baik itu secara fisik atau psikis. 

Rasa empati seharusnya lebih kita ke depankan. Apa jadinya jika perlakuan itu terjadi pada keluarga dekat kita? Tentu kita tidak menerimanya bukan? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun