Tentu ini menjadi sebuah ironi. Konten yang seharusnya mengedukasi anak justru dijadikan objektifikasi tubuh perempuan oleh orang-orang yang tidak bermoral.Â
Objektifikasi tubuhÂ
Di era konvensional, obejktifikasi tubuh seseorang dilakukan secara verbal. Misalnya dengan melakukan catcalling atau tatapan mata yang tidak senonoh.Â
Saat ini, era sudah berubah menjadi serba digital. Objektifikasi tubuh dilakukan di media sosial dan tidak hanya menyerang perempuan saja tapi laki-laki pun sama.Â
Tentu kita masih ingat saat Jonatan Christie bermain di Asian Games 2018 lalu. Jojo selalu membuka baju ketika meraih kemenangan. Aksi spontan Jojo ternyata digemari oleh sebagian fans tidak bermoral dan menjadikan tubuh Jojo sebagai objektifikasi seksual.Â
Kita bisa melihat beberapa komentar yang bernada miring tersebut. Misalnya dengan komentar "rahimku hangat" atau sejenisnya. Dalam kasus Kinderflix, hal serupa pun terjadi.Â
Banyak potongan komentar yang tidak senonoh yang menjurus pada pelecehan seksual. Tentu komentar itu tidak pantas padahal Kinderflix adalah konten edukasi bagi anak.Â
Sejak awal peradaban manusia, perempuan selalu menjadi objektifikasi bagi laki-laki. Hampir dalam seluruh peradaban dibangun dalam sistem patriarkies, di mana laki-laki jauh lebih dominan dibanding perempuan.Â
Dalam sejarahnya, kebanyakan yang menjadi pemimpin adalah laki-laki. Di antara pemimpin itu, banyak yang memiliki selir dan itu disimbolkan sebagai kejantanan. Perempuan ditempatkan hanya sebatas pemuas semata.Â
Perempuan ditempatkan dalam posisi yang lemah karena kebanyakan dari mereka menjadi istri atau selir penguasa berdasarkan paksaan, konsolidasi politik, bahkan rampasan perang.
Menurut Fredrickson & Robert, orang-orang mengenang pria karena prestasinya atau karena keberaniannya dalam perang. Sedangkan wanita akan dikenang sebagai sosok yang cantik karena kontrolnya terhadap orang lain dengan mengobjektifikasi tubuhnya.Â