Budaya patriarki itu terus dibawa hingga masa kini. Tubuh perempuan hanya dijadikan alat semata. Saya selalu berpikir mengapa sampul TTS zaman dulu selalu dihiasi wanita cantik. Tentu ada tujuan tersendiri yaitu agar orang-orang mau membelinya.
Di era saat ini, hal serupa terjadi. Tapi, di media sosial lagi. Jika dalam media hanya untuk menaikkan rating atau pendapatan, media sosial tidak berlaku demikian.Â
Banyak perempuan yang mengunggah foto di media sosial bukan karena rating, tapi karena dia memang ingin mengunggah, tapi perlakuan objektifikasi tetap ada.Â
Begitu juga dengan Kinderflix, sasaran konten mereka bukan orang dewasa. Tapi anak-anak. Untuk itu, Kinderflix menampilkan sosok yang ramah anak yaitu para talentnya termasuk Kak Nisa.Â
Selain itu, pakaiannya pun sangat sopan karena serba tertutup. Artinya, Kinderflix memang sudah didesain untuk konten anak-anak agar anak jauh lebih interaktif.Â
Tentu untuk chanel anak komentar dinonaktifkan oleh YouTube. Tapi, tidak di media sosial. Banyak cuplikan Kinderflix yang menampilkan Kak Nisa yang dengan komentar seksis.
Dengan ramainya komentar seksis itu, banyak pihak yang belum sadar akan perbuatannya. Banyak yang menyebut jika hal itu termasuk ke dalam candaan.Â
Tapi, bagi saya candaan tidak perlu merendahkan martabat orang lain. Apalagi sampai mengobjektifikasi tubuh seseorang. Selain itu, kentalnya budaya partriarki masih mewajarkan hal di atas.Â
Banyak yang salah paham soal pelecehan seksual. Bagi mereka yang tidak paham, pelecehan seksual hanya dimaknai perbuatan fisik saja. Padahal di era saat ini pelecehan seksual jauh lebih luas termasuk komentar seksis dengan mengobjektifikasi tubuh seseorang.Â
Sebuah ironi memang, Kinderflix yang tadinya adalah konten edukasi anak justru menjadi bahan objektifikasi pihak yang tidak bertanggung jawab.Â
Di luar itu, kita seharusnya lebih peka dengan korban. Tentu korban pelecehan seksual akan mengalami trauma baik itu secara fisik atau psikis.Â