Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Raket Artikel Utama

Saat Tim Badminton Indonesia Sulit Juara di Turnamen Elit

14 September 2023   09:58 Diperbarui: 16 September 2023   08:05 813
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Leo Rolly/Daniel Marthin saat tampil di Hong Kong Open 2023. | Foto: Dok. PBSI via kompas.com

Badminton merupakan cabang olahraga andalan Indonesia terutama pada event internasional. Di Olimpiade, Bamdinton menjadi andalan untuk mendulang medali. 

Akan tetapi, citra Indonesia sebagai kekuatan besar badminton dunia mulai pudar. Hal itu karena rentetan hasil buruk dalam lima bulan terakhir turnamen BWF. 

Indonesia gagal total karena tidak ada satu pun gelar yang direbut. Terakhir, Indonesia gagal di China Open. Sejumlah unggulan seperti Fajar/Rian dan Anthony Ginting gagal di babak awal. 

Hanya Jonatan Christie yang mampu tampil sampai semifinal sebelum kalah dari Viktor Axelsen. Padahal, China Open adalah turnamen Super 1000 yang tentu akan berpengaruh dalam perhitungan Olimpiade Paris 2024.

Di tahun 2023, setidaknya ada empat turnamen Super 1000 yaitu Malaysia Open, All England, Indonesia Open, dan China Open. 

Indonesia hanya meraih dua gelar juara di Malaysia Open dan All England. Di Indonesia Open, Indonesia kembali gagal seperti tahun sebelumnya. Indonesia hanya meraih runner-up melalui Anthony Ginting. 

Artinya, dari 20 gelar yang tersedia, Indonesia hanya mampu meraih dua gelar saja. Tentu hal ini buruk jika dibandingkan dengan China yang setidaknya selalu meraih gelar di dua sektor seperti ganda puteri, ganda putera, atau ganda campuran. 

Peruntungan Indonesia juga gagal di Turnamen Super 750. Indonesia hanya mampu mengoleksi satu gelar melalui Anthony Ginting di Singapore Open 2023.

Di Turnamen Super 750 lainnya, Japan Open, lagi-lagi Indonesia gagal dan hanya meraih posisi runner-up setelah Jonatan Christie kalah di babak final Oleh Axelsen. 

Untuk Turnamen Super 500, Indonesia hanya meraih dua gelar di Indonesia Masters melalui Jonahan Christie dan Leo Rolly Carnando/Daniel Marthin. 

Situasi tersebut jelas buruk, hal itu karena gelar juara tadi mayoritas didapat sebelum perhitungan Olimpiade Paris 2024. Ditambah lagi di Kejuaraan Dunia Indonesia kembali gagal.

Jika terus berlanjut, bukan tidak mungkin tim badminton Indonesia akan krisis pemain di Olimpiade nanti. 

Kini, tim Indonesia masih berlaga di Hong Kong Open, turnamen Super 500 lainnya. Tentu kita berharap Indonesia mampu mengatasi kegagalan di turnamen sebelumnya. 

Penurunan peforma 

Jika kita perhatikan, hampir seluruh sektor mengalami penurunan peforma. Di ganda putera misalnya, padahal ganda putera menjadi andalan untuk meraih gelar juara. 

Akan tetapi, kini persaingan kian ketat. Fajar/Rian yang menjadi nomor 1 dunia justru mengalami penurunan peforma yang drastis. Setelah juara All England, capaian terbaik Fajar/Rian adalah semifinal Korea Open 2023.

Di luar itu, Fajar/Rian selalu kalah di babak awal. Di Kejuaraan Dunia, Fajar/Rian gagal di babak 32 besar. Pun begitu di China Open, Fajar/Rian gagal di babak 32 besar. 

Tentu ini menjadi catatan bagi pasangan ini, hal itu karena jika dibanding tahun lalu, peforma Fajar/Rian begitu anomali. 

Di sisi lain, pemain lainnya seperti Daniel Marthin/Leo Rolly atau Bagas/Fikri juga belum bisa berbuat banyak dan tidak bisa mengcover kegagalan Fajar/Rian.

Kita juga tidak bisa terus berharap pada Ahsan/Hendra mengingat mereka berdua sudah tidak muda lagi. 

Di luar itu, ganda putera kita mulai kalah dari pasangan lain. Sebut saja pasangan India Rankireddy/Chirag Shetty. Jangan lupakan calon ganda putera kuat asal China yaitu Liang Wei Keng/Wang Chang yang baru saja juara di China Open. 

Pasangan ini kini menguntit di posisi dua dunia dan tentu posisi Fajar/Rian bisa saja dikudeta. Padahal, dari sisi usia Liang/Wang Chang tidak jauh berbeda dengan Leo/Daniel. Tapi, untuk prestasi beda cerita. 

Tunggal putera pun belum lagi memberi gelar juara. Anthony Ginting masih belum memberi gelar selepas Singapore Open. Di China Open, Ginting kalah di babak awal.

Jojo pun masih belum stabil. Pun pemain lain seperti Chico atau Vito. Tunggal putera memiliki kans besar untuk juara di Hong Kong Open karena Axelsen gagal di babak 32 besar. 

Tentu ini jadi kesempatan bagus bagi Ginting atau Jojo. Mengingat, Ginting dan Jojo selalu menemui hambatan, yaitu Axelsen. 

Tunggal puteri bagi saya sektor yang paling menyedihkan. Hal itu karena kita hanya bisa mengandalkan Gregoria saja. Meski ada Putri KW, tapi bagi saya permainan keduanya memiliki gap yang jauh. 

Hal ini berbeda denga Thailand yang bisa mengirin tiga sampai empat pemain dalam satu turnamen. Jadi, kans untuk juara jauh lebih besar. 

Sektor ganda puteri juga belum juara lagi. Kita menyaksikan bagaimana comeback Apriyani/Fadia di Kejuaraan Dunia. Hanya saja, Apri/Fadia gagal di final. Meski begitu, catatan tersebut patut kita apresiasi karena hampir dua dekade ganda puteri absen di final Kejuaraan Dunia. 

Ganda campuran adalah sektor yang selalu dinantikan untuk juara. Selepas Owi/Butet, belum ada lagi ganda campuran seperti mereka. Kedigdayaan Zheng Siwei/Huang Ya Qiong mulai bisa diikuti oleh ganda campuran asal Korea Selatan Seo Seung Jae/Cha Yu Jung. 

Artinya, pemain lain sudah mulai bisa menyusul sementara pemain kita seperti jalan di tempat. Selain itu, menurut saya ada jarak yang cukup jauh antara andalan dan nonandalan.

Misalnya permainan antara Gregoria dan Putri KW. Ada gap yang jauh dari sisi permainan. Bagi saya, Grego masih unggul jauh dari Putri KW. 

Artinya, seharusnya persaingan di internal sendiri harus merata. Jadi, kita tidak bisa mengandalkan satu pemain atau satu sektor saja. 

Kualitas yang tidak jauh berbeda akan berpengaruh dalam turnamen beregu seperti Thomas Cup, Uber Cup, dan Sudirman Cup. Jika kualitas permainan tidak merata, sulit bagi Indonesia untuk juara di kejuaraan beregu.

Berbenah

Catatan buruk ini tentu harus segera dihentikan lantaran akan berdampak serius terutama di Olimpiade Paris 2024. Jika tidak dihentikan, maka keterwakilan Indonesia di Olimpiade kian sedikit. 

Dalam skema terburuk, mungkin saja Indonesia hanya bisa mengirim lima wakil alias satu wakil per sektor. Jika terjadi, maka beban pemain akan semakin besar karena sedikitnya perwakikan. 

Secara matematis, tentu dengan banyaknya perwakilan maka kans juara semakin besar. Pun sebaliknya. 

Selain itu, rasanya tidak fair juga jika hanya mengkritik peforma pemain. Tentu PBSI sebagai induk badminton Indonesia mempunyai andil untuk mengembalikan kepercayaan diri pemain.

PBSI juga tidak bisa lepas dari kritik. Apalagi, setelah PB Djarum berhenti, regenerasi pemain mulai terputus dan sudah terasa. Ini adalah PR bagi PBSI untuk segera mengorbitkan pemain muda ke kancah yang lebih tinggi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun