Siapa yang tidak kenal TikTok? Aplikasi besutan ByteDance itu tengah naik daun akhir-akhir ini. Bisa dibilang, TikTok masih anak baru dibanding media sosial lain seperti Instagram, Facebook, dan Twitter.Â
Tapi, kehadiran media sosial asal China itu membuat persaingan di dunia digital kian menarik. Tahun 2023, TikTok dinobatkan menjadi media sosial paling populer di dunia.Â
Meski berasal dari China, tapi pengguna aktif paling banyak adalah Amerika Serikat dengan 117 juta pengguna. Di posisi kedua ditempati Indonesia dengan jumlah pengguna 114 juta.Â
Selain menjadi media sosial populer, fitur TikTok yaitu video pendek kian digemari. Bahkan challenge-challenge di TikTok mampu menaikkan lagu hingga menjadi tren.Â
Tentu terobosan itu membuat Instagram dan YouTube membuat hal serupa. Instagram memiliki fitur reels dan YouTube memiliki fitur short video.Â
Tidak hanya bergerak di bidang sosial media, TikTok juga menginvansi dunia digital lain yaitu e-commerce. Jadi, TikTok bukan lagi sosial media tapi sudah menjadi social commerce.Â
Hal itu membuat TikTok berada di area abu-abu sehingga dari sisi aturan khususnya di Indonesia, belum ada aturan yang relevan terkait social commerce. Di sisi lain, ada kebijakan baru TikTok yang bisa menjadi lonceng kematian UMKM Indonesia jika benar-benar diterapkan.Â
Project S
Dalam laporan Financial Times, TikTok disebut akan melakukan ekspansi yang disebut dengan "Project S." Project S disebut akan mengekspansi pasar Inggris.Â
Financial Times menulis bahwa pengguna di UK akan menemukan fitur belanja dalam aplikasi sosial media Tiktok yang bernama "Trendy Beat". Tiktok Shop ala UK ini akan mengoleksi data produk-produk yang sedang menjadi trend dan menjualnya.
Berkat data dan algoritma yang dimiliki TikTok, nantinya TikTok akan mempoduksi barang mereka sendiri. Barang-barang tersebut akan diproduksi dan dan kirim langsung dari China.Â
Hal ini serupa dengan yang dilakukan oleh Amazon. Mereka memproduksi barang-barang yang sedang trending lalu menjualnya.
Meski begitu, kebijakan "Project S" TikTok jelas menjadi ancaman di Indonesia khususnya bagi UMKM. Salah satu penopang ekonomi Indonesia adalah UMKM.Â
Untuk itu, pemerintah mempunyai program tersendiri untuk memajukan UMKM. Jika Project S benar-benar diterapkan di Indonesia, maka tidak hanya UMKM yang rugi, tapi negara pun akan rugi.Â
Seperti yang sudah diulas di atas, Indonesia adalah salah satu negara pengguna TikTok terbanyak di dunia. Selain itu, aktivitas ekonomi terjadi di TikTok karena ada fitur TikTok Shop.Â
Belum lagi aktivitas lainnya seperti live yang bertujuan untuk memasarkan produk. Dengan aktivitas itu, tentu TikTok punya data dan algoritma barang apa saja yang sedang trending di Indonesia.Â
Beberapa produk justru ngetren di TikTok. Sebut saja produk kecantikan alias skincare. Produk-produk tersebut tren karena sistem algoritma TikTok.Â
Bermodalkan data itu, maka TikTok bisa membuat produk skincare serupa yang diproduksi di China lalu menjualnya di pasar Indonesia. Dengan begitu, lambat laun produk lokal akan tergusur oleh barang-barang yang dibuat oleh TikTok.Â
TikTok dengan mudah menginvansi pasar Indonesia karena telah memiliki data barang apa saja yang sedang trending. Mereka juga akan dengan mudah menaikkan produk mereka sendiri dengan algoritmanya dan barang-barang lokal akan tenggelam.Â
Inilah sinyal kematian UMKM yang harus kita sadari. Banyak pedagang UMKM yang memanfaatkan fitur TikTok Shop untuk menjual produk mereka. Jika dulu saingan para pelaku usaha adalah pengusaha lain, apa jadinya jika saingan mereka adalah pemilik platform tersebut?Â
Bisa dibayangkan bukan produk apa saja yang akan muncul ke permukaan publik. Dengan begitu, maka orang-orang akan membeli produk China. Hal ini berbeda dengan produk yang dijual di e-commerce karena sudah ada aturannya yang otomatis akan terkena pajak.Â
Padahal, UMKM selama ini merupakan tulang punggung perekonomian nasional. Tercatat, kontribusi UMKM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 61,07 persen atau senilai Rp8.574 triliun pada 2021.
Selain merugikan UMKM, tentu kebijakan itu akan merugikan negara terutama dari sisi pajak. Hal itu karena ritel sendiri secara daring dan diproduksi di negara mereka sendiri.Â
Hal ini berbeda dengan UMKM. Di mana untuk bisa membuat satu produk ada banyak hal yang harus diselesaikan terutama izin atau sertifikasi dari BPOM.Â
Praktis, transaksi yang terjadi di Project S akan menghilangkan pendapatan negara khususnya dari sisi pajak. Hal itu karena sekali lagi, TikTok berada di area abu-abu yaitu social commerce.Â
Seperti yang kita ketahui, media sosial berada dalam pengawasan Kominfo sementara untuk e-commerce berada dalam pengawasan Kemendag.Â
Selain itu, kita juga harus memisahkan antara Tiktok sebagai media sosial dan TikTok sebagai e-commerce.
Solusi yang mungkin bisa dicoba adalah dengan merevisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan melalui Sistem Elektronik.
Meski begitu, perlu ada kajian yang lebih lanjut terkait project s tiktok. Misalnya dengan membatasi jenis-jenis barang atau ketentuan izin dan lainnya. Akan tetapi, jika Project S TikTok bisa benar-benar mematikan UMKM, sebaiknya kita menolak kebijakan tersebut.Â
Hal itu karena ekonomi Inggris dan Indonesia jauh berbeda. Sekali lagi, ekonomi Indonesia ditopang oleh UMKM. Jika UMKM mati, bagaimana dengan nasib ekonomi ke depannya?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H