Memasuki tahun politik, khususnya pilpres 2024, Presiden Joko Widodo makin menunjukkan gelatan politiknya. Tidak seperti sebelumnya yang malu-malu kucing dan enggan intervensi, kini Jokowi menunjukkan tajinya.Â
Terbaru, Â Jokowi secara terang-terangan ikut cawe-cawe pada pilpres 2024. Hal itu dinyatakan langsung Jokowi di depan para pimpinan redaksi dan konten kreator di Istana Negara, Senin 29 Mei 2023.
Sebelumnya, Jokowi menyebut jika apa yang dilakukannya sah-sah saja selama tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan untuk kepentingan negara.Â
Pilpres 2024 merupakan momen krusial untuk menyiapkan Indonesia sebagai negara maju pada tahun 2030. Untuk itu, strategi kebijakan calon pemimpin sangat menentukan apakah Indonesia akan menjadi negara maju atau tidak.Â
Gelagat politik Jokowi
Jika kita tarik ke belakang, sebetulnya geliat Jokowi cawe-cawe di pilpres 2024 sudah lama. Hal ini bisa kita saksikan ketika Jokowi mengundang seluruh ketua partai pengusung pemerintah ke Istana Negara pada tanggal 2 Mei silam.Â
Menariknya, dalam pertemuan itu tidak ada Ketua Umum Nasdem, Surya Paloh. Padahal, Nasdem merupakan salah satu partai pendukung pemerintah. Akan tetapi, Jokowi seperti menganaktirikan Nasdem.Â
Hal itu bisa kita baca karena Nasdem sudah lebih dulu mencalonkan Anies Baswedan sebagai capres. Bahkan, Jokowi secara gamblang memang tidak mengundang Nasdem karena telah memiliki koalisi sendiri.Â
"Nasdem itu, ya kita harus bicara apa adanya, kan sudah memiliki koalisi sendiri. Dan ini gabungan partai yang kemarin berkumpul itu kan juga ingin membangun kerja sama politik yang lain," ujar Jokowi (kompas.com)
Hal itu sudah menunjukkan sikap politik Jokowi yang bertentangan dengan Nasdem. Dengan sikap itu, Surya Paloh menyebut jika hubungan antara dirinya dengan pemerintah sudah masuk ke dalam titik terendah.Â
Nasdem merasa tidak diakui lagi sebagai partai koalisi pemerintah. Meski begitu, Nasdem akan tetap mendukung pemerintah hingga jabatan presiden Jokowi usai.Â
Dalam wawancara eksklusif di CNN Indonesia, Surya Paloh menyebut ada upaya penjegalan pencapresan Anies Baswedan. Paloh menyebut hal itu adalah konsekuensi politik yang harus dihadapi.Â
Paloh menyebut dirinya merasakan betul adanya upaya penjegalan tersebut. Ia mengibaratkan penjegalan itu bagaikan angin yang bisa dirasakan, tetapi tak bisa ditangkap. Namun, ia sendiri tidak tahu siapa pihak yang berusaha menjegal Anies.
Nasdem pun enggan bergabung dengan koalisi besar seandainya jika terbentuk. Jika ditarik lagi ke belakang, Jokowi memang kerap mengendorse capres.Â
Bahkan dalam satu pertemuan dengan relawan, Jokowi menyebut jika pemimpin yang memikirkan rakyat adalah si rambut putih. Di sisi lain, Jokowi juga kerap bareng dengan Prabowo dalam beberapa kesempatan.Â
Cawe-cawe Jokowi yang sebelumnya malu-malu kucing kini nyata terlihat. Jokowi pun pernah menyebut jika publik harus tahu bahwa dia adalah seorang politisi dan pejabat publik.Â
Netralitas dan etika politik Â
Tentu apa yang dilakukan Jokowi menuai pro dan kontra di kalangan politisi hingga masyarakat secara umum.Â
Banyak kalangan menyebut jika apa yang dilakukan Jokowi sudah terlalu jauh. Apalagi Jokowi bukan seorang pemimpin partai. Maka, sejatinya ia tidak tepat untuk cawe-cawe pada pilpres kali ini.Â
Selain itu, cawe-cawe Jokowi diragukan murni demi kebaikan bangsa alias tidak netral. Jokowi sering mengendorse capres baik itu Ganjar atau Prabowo dalam beberapa kesempatan.Â
Alasan demi bangsa juga diragukan karena sejatinya Jokowi menginginkan calon presiden nanti mampu meneruskan jejak yang telah ia bangun. Terutama IKN.Â
Jika capres atau cawapres yang terpilih nanti tidak sesuai dengan keinginannya, maka ada kemungkinan proyek besar yang dikerjakan oleh Jokowi mangkrak.
Itulah esensi dari cawe-cawr Jokowi. Jadi apa yang dilakukan oleh Jokowi adalah gelagat seorang politisi, bukan seorang negarawan.
Jokowi yang ikut cawe-cawe tidak ada hubungannya sama sekali dengan tugasnya baik itu sebagai kepala negara atau kepala pemerintah. Ini murni adalah strategi politiik.Â
Dan Jokowi pun mengakui itu. Publik bahkan diminta memahami bahwa ia adalah seorang politisi. Meski tidak ada aturan yang dilanggar, tapi ada etika yang harus dijaga.Â
Bagi saya, kedudukan etika jauh lebih tinggi dari hukum. Hal itu karena etika adalah bidang ilmu yang melahirkan hukum yang kemudian direalisasikan ke dalam bentuk undang-undang.Â
Seseorang yang etikanya terjaga, ia akan bersikap lurus meski perbuatan tersebut tidak bertentangan dengan udang-undang. Apalagi, cawe-cawe Jokowi memakai fasilitas negara.Â
Misalnya ketika pertemuan dengan ketua partai koalisi pemerintah. Istana negara yang seharusnya netral dari kepentingan pribadi justru dijadikan fasilitas untuk mencapai kepentingan pragmatis yang dibalut dengan frasa "demi bangsa dan negara."
Tidak ada salahnya jika Jokowi ingin cawe-cawe. Tapi, alangkah lebih baik jika cawe-cawe itu dilakukan selama masa cuti atau ketika jabatannya lepas. Sehingga masyarakat tidak akan bingung karena yang dilakukannya benar-benar perbuatan politisi.
Jika masih menjabat sebagai presiden, maka rasanya tidak etis jika Jokowi masuk terlalu jauh. Meski tidak memakai alat negara seperti TNI atau Polri. Tapi, Jokowi seharusnya tahu, status presiden akan selalu melekat padanya selama masa jabatan itu belum habis.
Jadi, ketika cawe-cawe, maka publik akan melihat Jokowi sebagai seorang presiden bukan sebagai politisi. Sebagai seorang negarawan, Jokowi seharusnya fokus menyelesaikan janji kampanye menjelang jabatannya habis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H