Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

RUU Kesehatan: Produk Tembakau Masuk Kategori Zat Adiktif, Mampukah Tekan Perokok Anak?

12 Mei 2023   09:44 Diperbarui: 12 Mei 2023   09:48 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Indonesia dinilai masih menjadi surga bagi perokok di bawah umur. Foto: KOMPAS.COM

Hari Senin (8 Mei 2023) kemarin, lima organsiasi profesi kesehatan yaitu Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) menggelar aksi damai menolak RUU Kesehatan di kawasan Monas, Patung Kuda, hingga Gedung Kementerian Kesehatan.

Dalam aksi damai itu, sejumlah anggota profesi kesehatan meminta agar pembahasan RUU Kesehatan yang menggunakan metode omnibus law itu dihentikan.

Hal itu dinilai tidak sesuai dengan kebutuhan permasalahan kesehatan hari ini. Selain itu, pembahasannya dinilai terburu-buru.

RUU Kesehatan merevisi dan mencabut beberapa undang-undang termasuk  UU BPJS. Sejak awal, RUU Kesehatan memang menuai kritik khususnya dari organisasi profesi kesehatan.

Hal itu karena RUU Kesehatan dinilai mengganggu perlindungan hak masyarakat dan organisasi profesi kesehatan. Pemerintah melalui RUU Kesehatan dinilai bisa menghapus eksistensi unsur organisasi profesi kesehatan.

Padahal, organisasi profesi kesehatan bisa memberi perlindungan pada masyarakat dan sudah diatur dalam undang-undang.
Selain itu, ada beberapa pasal yang dinilai kontroversi. Misalnya terkait pasal aborsi.

Di dalam aturan sebelumnya, usia maksimal kehamilan untuk aborsi adalah 8 minggu. Dalam RUU ini, aborsi dibolehkan hingga 14 minggu di mana janin sudah terbentuk. Tentu ini dinilai bukan kategori aborsi, tapi pembunuhan janin.

Di luar itu, masih ada beberapa pasal dalam RUU Kesehatan yang dinilai kontroversi. Salah satunya adalah pasal yang mengatur produk tembakau masuk ke dalam kategori zat adiktif.

Produk tembakau

Dalam RUU Kesehatan, terdapat pasal kontroversi yang menyinggung soal rokok dan narkotika yang diatur dalam Pasal 154.

Pasal tersebut menyebut bahwa rokok merupakan zat adiktif di mana hasil tembakau bersama dengan narkotika dan psikotoprika. Secara tidak langsung, maka rokok masuk ke dalam kategori narkotika.

Namun, ada alasan tersendiri mengapa rokok atau produk tembakau masuk ke dalam kategori zat adiktif. Hal itu karena nikotin yang terkandung dalam tembakau bisa membuat seseorang kecanduan. Sama halnya ketika mengonsumsi zat adiktif seperti lainnya.

Meskipun memiliki zat adiktif yang bisa membuat orang ketagihan, namun tembakau yang menjadi bahan rokok tentu berbeda dengan narkotika terutama dalam hal adiksinya.

Seseorang yang sudah candu dengan narkotika, maka akan mengalami ketergntungan fisik dan mental yang menimbulkan perubahan perilaku bagi orang yang mengalaminya.

Dalam kasus tersebut, seseorang yang sudah ketergantungan terdapat tuntutan dalam dirinya untuk menggunakan secara terus menerus disertai peningkatan dosis terutama setelah terjadi sakau. Hal inilah yang membuat narkotika berbahaya untuk dikonsumsi.

Sementara zat adiktif dalam rokok tidak seperti itu. Seorang perokok tidak akan mengalami hal serupa meski sama-sama tidak baik dari sisi kesehatan. Akan tetapi, adiksi dari kedua zat tersebut memang berbeda.

Jika demikian, maka ini akan menjadi alarm bagi para petani tembakau. Tentu mereka akan rugi dan tidak memproduksi tembakau lagi karena tembakau sudah satu level dengan narkotika. Artinya, produksi tembakau yang dilakukan bertentangan dengan undang-undang.

Padahal, pendapatan negara dari cukai rokok tinggi. Hal itu bisa dilihat dari catatan Kementerian Keuangan, realisasi penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) sebesar Rp. 198,02 triliun sejak 1 Januari-14 Desember 2022.

Angka tersebut meningkat sebesar 4,9 persen dibandingkan tahun lalu yaitu Rp. 188,81 triliun. Itu artinya, jika rokok masuk ke dalam kategori zat adiktif, maka tidak hanya petani tembakau saja yang terncam tapi pendapatan negara.

Akan tetapi, kita harus melihat hal itu dari sisi yang lain. Utamanya dalam menekan perokok anak-anak.

Lantas, apakah dengan menyetarakan rokok dengan zat adiktif bisa menekan perokok anak mengingat sama-sama bisa membuat candu?

Perokok anak mungkin lumrah kita temui bahkan di lingkungan sekitar. Saya kerap menemukan anak-anak sekolah sudah merokok. Tentu apa yang saya lihat sesuai dengan data di Kementerian Kesehatan.

Data Kemenkes menyebut janak usia 10-14 yang sudah merokok sebanyak 71.126 pada tahun 1995. Lalu angka tersebut meningkat menjadi 426.214 di tahun 2007 atau enam kali lipat dalam waktu 12 tahun saja.

Angka ini diprediksi akan semakin meningkat jika akses untuk mendapat rokok tidak diperketat.

Upaya

Jika kita runut, sudah ada beberapa upaya yang dilakukan pemerintah untuk menurunkan angka perokok anak. Misalnya dengan larangan membeli rokok ketengan. Akan tetapi, hal ini tidak efektif dan hanya berlaku bagi ritel saja.

Sementara untuk warung di pinggir jalan anak-anak masih bisa membeli rokok dengan harga Rp. 5000 untuk tiga batang. Artinya larangan menjual ketengan bukan solusi karena tidak semua penjual melakukan hal tersebut. Terutama warung-warung kecil atau penjual rokok di pinggir jalan.

Upaya lainnya adalah dengan menaikkan harga cukai rokok. Pemerintah bahkan menaikkan cukai rokok hingga 10 persen agar tidak bisa dijangkau anak kecil. Akan tetapi, upaya itu masih belum berhasil.

Jika kita telisik lebih jeli lagi, semenjak harga cukai naik, justru banyak peredaran rokok tanpa cukai yang lebih murah dengan nama yang aneh-aneh. Untuk satu bungkus saja ada yang dihargai Rp. 10.000.

Rokok-rokok tanpa cukai memang sangat masif peredarannya. Tentu pemerintah harus menindak peredaran tersebut karena sangat merugikan negara. Disamping itu, rokok tanpa cukai juga jelas bertentangan dengan upaya pemerintah menekan perokok anak.

Lalu, apakah dengan menyamakan rokok dengan zat adiktif bisa menekan perokok anak? Tentu yang paling realistis melakukan adalah pengawasan yang ketat. Larangan tidak cukup apabila pengawasan internal dan eksternal kurang.

Jika memang tujuannya demikian, maka harus diimplementasikan dengan baik terutama dalam aturan pelaksananya atau bahkan melalui undang-undang. Sejauh ini, aturan yang melarang peredaran rokok bagi anak di bawah umur terdapat di dalam PP Nomor 109 Tahun 2012.

Praktis dengan direvisinya Undang-Undang Kesehatan, maka PP tersebut tidak akan berlaku karena merupakan produk turunan dari Undang-Undang Kesehatan. Yang perlu ditekankan dalam RUU Kesehatan adalah terkait promosi produk tembakau.

Sejauh ini, aturan terkait promosi produk tembakau masih belum diatur secara tegas dalam Undang-Undang Kesehatan. Tentu porsi ini harus mendapat perhatian dari pemerintah agar anak-anak tidak dengan mudah bisa mendapatkan akses terhadap produk tembakau.

Memasukkan produk tembakau ke dalam kategori zat adiktif saja belum cukup untuk menekan perokok anak. Selain regulasi yang memadai, agar regulasi tersebut berjalan dengan baik maka harus dilakukan pengawasan ketat terkait peredaran rokok tanpa cukai.

Produk rokok tanpa cukai ini sangat murah dan mudah diakses oleh anak-anak. Selain itu, harus ada sanksi tegas bagi siapa saja yang memberi akses bagi perokok anak. Kita juga harus melibatkan elemen masyarakat terutama warung-warung kecil yang tidak tersentuh aturan rokok ketengan. Karena dari sinilah anak-anak dengan mudah mengakses rokok.

Jadi, untuk bisa benar-benar menekan perokok anak, maka antara regulasi, pengawasan, dan pelibatan masyarakat harus terintegrasi dengan baik. Lebih penting lagi, anak-anak adalah aset bangsa yang harus dilindungi, termasuk bebas dari akses produk tembakau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun