Apalagi, dengan kecanggihan teknologi saat ini kejahatan siber kian beragam dan penegak hukum mau tidak mau harus beradaptasi. Pun begitu dengan aturan yang ada.
Mengembalikan tujuan UU ITE
Pada dasarnya, jika kita mengartikan hukum sebagai undang-undang, maka undang-undang akan selalu tertinggal dari peristiwa, terutama soal kejahatan di bidang siber.
Untuk itu, terkait dengan kejahatan ini harus diantisipasi jauh-jauh hari. Potensi kejahatan yang timbul akibat dari kemajuan teknologi harus bisa diantisipasi dengan menerapkan aturan yang relevan. UU ITE sebetulnya menjawab tantangan tesebut.
Jika kita melihat pada konsideransnya, maka sejatinya kelahiran UU ITE tidak terlepas dari kemajuan teknologi, terutama dalam hal transaksi elektronik. Pun begitu dengan tindak pidana yang akan muncul.
Hanya saja, justru yang muncul ke permukaan publik bukan menyelesaikan tindak pidana di bidang ekonomi, tapi malah tindak pidana yang bersifat privat seperti pencemaran nama baik atau ujaran kebencian.
Pasal-pasal inilah yang kerap muncul ke permukaan publik dan membuat UU ITE dilabeli sebagai undang-undang bermasalah.
Terbaru, seorang pemuda asal Lampung mengkritik ketimpangan yang terjadi di wilayahnya justru berakhir dengan pelaporan dengan dalih merendahkan masyarakat Lampung.
Bahkan, dalam data Safenet, dalam rentan 2013-2021 hampir ada 400 kasus yang dituntut dengan UU ITE. Kebanyakan korban dari UU ITE adalah aktivis yang getol mengeluarkan kritik.
Saat ini, kasus Haris Azhar dan Fatia sudah memasuki persidangan. Pangkalnya Haris dan Fatia disebut telah mencemarkan nama baik Luhut dalam sebuah vudeo di YouTube.Â
Ironisnya, tindak pidana yang lahir dari transaksi elektronik justru tenggelam oleh marakanya kasus pencemaran nama baik.
Entah itu karena kasus tersebut tidak ada atau karena pasal pencemaran nama baik hanya dijadikan alat pembungkam saja.
Berkaca dari kasus di atas, maka sejatinya UU ITE telah melenceng dari tujuan awalnya yaitu