Sama seperti pengobatan tradisional lain, Pak Haji, sebutan sang ahli tulang memberi doa. Lalu ia pun mulai bekerja dengan memberi perban dan papan di bagian paha yang patah.Â
Tujuannya tentu agar lurus kembali. Pak Haji kemudian menyarankan agar saudara saya tidur di atas ranjang tinggi. Lalu, kaki yang patah tersebut diberi pemberat.Â
Katanya agar tulang yang patah tertarik dan tersambung kembali. Tapi, setelah dua minggu lebih tidak ada perubahan sama sekali.Â
Saudara saya tetap sakit-sakitan. Hasil rontgen pun tidak berbeda dengan rontgen awal. Artinya, metode tersebut gagal. Jika dibiarkan, maka saudara saya terancam tidak bisa berjalan lagi.Â
Akhirnya kami memutuskan untuk membawa ke meja operasi di Rumah Sakit Dustira, Cimahi. Sang dokter hanya tertawa melihat metode pengobatan tradisional tersebut.Â
Menurut dokter, saudara saya tidak hanya patah tulang, tapi pecah. Pecahan tulang tersebut sudah masuk ke area otot dan itu membuat rasa sakit terus muncul.Â
Setelah dioperasi, saudara saya bisa berjalan kembali. Tentu harus tetap terapi agar benar-benar sehat. Pecahan tulang pun bersih.Â
Dari pengalaman tersebut, meski ada metode pengobatan tradisional yang berhasil, tidak sedikit juga ada yang gagal bahkan bisa berakibat fatal.Â
Pertanyaan selanjutnya adalah, adakah perlindungan bagi pasien pengobatan tradisional? Kemanakah ia harus menuntut jika terjadi malapraktik?Â
Aturan hukum
Sebenarnya, keberadaan pengobatan tradisional tidak dilarang, malah diakui. Hal itu bisa kita lihat dalam Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang berbunyi.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!