Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Tradisi Pilihan

Main Petasan hingga Berburu Tanda Tangan Ustadz yang Membuat Nostalgia

2 April 2023   19:37 Diperbarui: 2 April 2023   19:45 1099
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ramdahan adalah bulan yang spesial. Seiring bertambahnya usia, kenangan akan keberkahan bulan suci ini kian terasa. 

Ketika masih sekolah dasar, kegiatan di bulan ramadhan begitu menyenangkan. Hal itu karena diisi dengan kegiatan yang bervariasi. Mulai dari mengaji hingga main petasan. 

Setelah santap sahur, saya dan kawan-kawan mengaji hingga pagi. Jika sekolah maka lanjut sekolah, jika tidak maka diisi kegiatan lain, yaitu main petasan. 

Bisa dibilang petasan pada zaman itu begitu lumrah. Tentu petasan yang dipakai adalah petasan cabai yang daya ledaknya kecil.

Bermain petasan menguji adrenalin bagi saya. Jujur, saya tidak berani menyalakan petasan tersebut. Tapi, inilah bagian yang menyenangkannya.

Saya selalu bermain jauh dari pemukiman agar tidak menganggu warga. Biasanya, kami selalu melempar petasan ke dalam parit atau empang orang lain. Eits, tentu yang satu ini jangan ditiru karena saya memiliki memori buruk. 

Saat itu, saya dan teman-teman selalu melempar petasan pada empang Abah yang dianggap galak oleh kami. Bahkan, saya selalu meracik petasan bak granat dengan menambahkan tanah.

Jadi, petasan tersebut agak berat. Dan ketika ditempar, suaranya tidak terlalu kencang karena tenggelam di dasar air. Tapi, kami cukup merasakan getaran di atas karena tanah begitu rapuh. 

Esok harinya, ikan yang ada di empang tersebut mati. Mungkin inilah salah satu kenakalan saya waktu kecil. Alhasil, Abah marah dan saat itu ia memagari empangnya. 

Sekitar jam 10 pagi, biasanya kami bermain monopoli hingga dzuhur. Setelah itu kami kembali mengaji hingga sore. 

Sore biasanya kami ngabuburit berburu takjil. Lokasi yang dituju adalah alun-alun kecil yang ada di kota kami. 

Jarak alun-alun dari rumah sekitar 2 km lebih. Tapi, saat itu karena tidak ada yang memiliki kendaraan pribadi, maka jalan kaki adalah pilihan terbaik. 

Tubuh kecil kami dengan semangat menempuh jarak yang cukup jauh itu. Kira-kira setengah jam lebih barulah sampai. 

Di sana, banyak takjil yang bisa dibeli. Tapi, hiburan yang paling menarik adalah balap tamiya. Nah, setiap sore setiap anak membawa mobil rakitannya sendiri untuk diadu. 

Saya sendiri hanya bisa menonton karena pada saat itu belum mampu membeli. Pukul 5 sore, kami pulang dan kira-kira jam setengah 6 baru sampai rumah. 

Setelah buka puasa, kegiatan dilanjutkan dengan kegiatan tarawih. Tak lupa, kami membawa buku tugas dari sekolah masing-masing. 

Kami diberi tugas untuk merangkum isi ceramah sang ustadz. Sama seperti anak-anak yang lain, ketika shalat terawih dimulai, kami justru menghabiskan waktu di luar dengan bermain kembang api. 

Ketika terawih selesai, kami langsung berburu tanda tangan ustadz. Sudah banyak anak-anak lain yang ikut megantre. Tapi, akhirnya tanda tangan itu didapat juga. 

Seperti itulah kegiatan saya ketika masih kecil dulu di bulan ramadhan. Kegiatan tersebut sangat berkesan dan tidak bisa diulang kembali dengan usia yang sekarang. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun