Misalnya hidup dengan kemewahan yang berujung pada sikap riya di media sosial atau disebut flexing. Kecenderungan untuk boros juga bagian dari hawa nafsu.Â
Padahal, puasa mengajarkan kita untuk hidup sederhana dengan merasakan rasa lapar. Di luar sana, mungkin setiap hari merasakan lapar dan haus. Jadi, ada nilai sosial di situ. Tujuannya untuk menaikkan rasa empati dan pada akhirnya hidup sederhana.Â
Jadi, di sinilah pentingnya akal bagi kita. Akal adalah pengontrol. Akal adalah sumber terpenting dalam jiwa manusia. Akal seharusnya mengatur diri kita bukan hawa nafsu atau hasrat. Jika kita dikendalikan sepenuhnya oleh akal, maka kita akan tahu batas.Â
Batas kapan memenuhi hawa nafsu yang natural seperti makan, tidur, seks, dan lainnya, atau hasrat dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan. Meski begitu, akal juga perlu makanan. Jika menurut Imam Ghazali bahan bakar hawa nafsu adalah makanan. Maka, bahan bakar akal adalah ilmu.
Jika kita analogikan, seekor kuda bisa disebut kuda karena dapat "mengoptimalkan" ciri yang ada di dalam dirinya yaitu berlari kencang.Â
Begitu juga dengan manusia, kita akan disebut sebagai manusia dengan mengoptimalkan ciri yang ada di dalam diri kita yaitu akal. Karena itu, ciri utama manusia dibanding dengan makhkuk lain adalah berpikir.Â
Lalu, kita tinggal memilih. Apakah ingin dipimpin oleh akal atau diperbudak hawa nafsu? Tapi, untuk bisa membedak itu, maka kita perlu ilmu yang menjadi kebutuhan akal.Â
Akal tanpa ilmu tentu tidak berguna. Lebih dari itu, disamping diberi akal, kita juga wajib menuntut ilmu untuk membawa kita ke jalan yang benar. Jika akal yang mengontrol kita, maka kita telah menjadi manusia yang mengoptimalkan ciri utama kita yaitu berpikir.Â
Bukankah islam adalah agama bagi mereka yang berpikir?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H