Untuk itu, dalam puasa kali ini marilah kita kedepankan akal kita. Akal adalah pemimpin ideal bagi kita untuk hidup sesuai norma yang berlaku.
Akal pula dapat membedakan mana perbuatan yang baik dan buruk bagi kita. Maka, beruntung bagi mereka yang bisa memimpin dirinya dengan akal.Â
Sementara itu, jika kita dipimpin oleh hawa nafsu, kita tidak ubahnya seperti hewan yang tidak berakal. Pada prinsipnya, setiap perbuatan hawa nafsu selalu merugikan, entah itu bagi diri sendiri maupun orang lain.Â
Untuk itu, perbuatan yang tidak dikehendaki oleh akal pasti disukai hawa nafsu. Jika hidup hanya mengikuti hawa nafsu, maka sejatinya kita telah diperbudak olehnya.
Esensi manusia terletak pada akalnya. Jika kita meminjam pemikiran Plato, maka manusia terdiri dari tiga komponen yaitu akal, kehendak, dan nafsu.Â
Akal disimbolkan dengan kepala, kehendak dengan dada, dan hawa nafsu bagian bawah tubuh manusia.Â
Bagi siapa saja yang mampu memimpin dirinya memakai akalnya, maka kedua komponen lain yaitu kehendak dan hawa nafsu bisa dikendalikan.Â
Dalam islam pun sering kita dengan ayat yang menyinggung terkait akal, berpikir, atau pikiran. Itu berarti, kita dituntut untuk menjadi makhluk yang berpikir.Â
Tapi, kita juga tidak bisa menghilangkan hawa nafsu yang tentu mencakup pula kehendak seperti apa kata Plato. Jika tidak punya itu, maka hidup kita tak ada tujuan.Â
Maka, jalan terbaik bagi kita adalah dengan mengendalikannya. Dan puasa adalah salah satu cara tersebut. Puasa adalah ajang latihan untuk menekan hawa nafsu.Â
Jadi, selama satu bulan penuh kita dilatih untuk mengendalikan segala bentuk hawa nafsu yang ada pada diri kita. Nafsu di sini mencakup semua hal seperti hasrat ingin memenuhi keinginan yang sebenarnya tidak terlalu penting.Â