Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Israel dan Palestina Tetap Main Bola, Indonesia Merana

30 Maret 2023   11:12 Diperbarui: 30 Maret 2023   11:19 765
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia secara resmi batal menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20. Hal itu dipastikan setelah FIFA merilis dalam situs resmi mereka. 

Di balik batalnya Indonesia menjadi tuan rumah tidak lepas dari penolakan sejumlah kalangan terhadap Timnas Israel. Bahkan dua gubernur dengan tegas menolak. 

Gubernur Bali, I Wayan Koster secara mengejutkan bersurat pada Menpora RI. Koster menegaskan menolak kehadiran Timnas Israel di Bali karena tidak sejalan dengan politik luar negeri Indonesia sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945.

Alasan lainnya adalah karena Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Sementara ormas islam beralasan menolak Israel adalah bentuk solidaritas terhadap muslim di Palestina. 

Akibat adanya surat tersebut, drawing yang seharusnya digelar tanggal 31 Maret 2023 di Bali batal. Dari frasanya pun "batal" sehingga kepastian Indonesia jadi tuan rumah kian tidak pasti. 

Seusai laga Indonesia melawan Burundi di FIFA Matchday, Erick Thohir langsung terbang untuk menemui FIFA. Hasilnya, FIFA tetap dengan pendiriannya yaitu mencoret Indonesia sebagai tuan rumah. 

Jelas penolakan Gubernur Bali merupakan bentuk tidak konsisten. Hal itu karena sebenarnya kepala daerah telah setuju terkait kesepakatan ini. Jadi, apa yang dilakukan oleh Koster merupakan bentuk ingkar janji. 

Selain itu, Indonesia juga dibayang-bayangi sanksi yang cukup berat. Exco PSSI Arya Sinulingga menyebut jika ia khawatir Indonesia akan dikucilkan dari dunia sepak bola. 

Mendengar kata tersebut, bisa jadi sanksi berat menanti. Entah apa sanksi yang akan diterima. 

Kita punya pengalaman kelam pada tahun 2015 lalu ketika Indonesia disanksi oleh FIFA. Semua aspek terkena. Kompetisi tidak berjalan karena jelas bernaung di bawah FIFA. 

Banyak pesepak bola yang kehilangan pekerjaan. Di sisi lain, Timnas Indonesia pun tidak bisa tampil di ajang internasional karena sanksi ini.

Akibatnya, peringkat kita jauh merosot. Kini, asa itu ada setelah Timnas Indonesia menunjukkan progres. Salah satunya kita berhasil lolos ke Piala Asia melalui babak kualifikasi. Setelah 17 tahun absen, kita akhirnya mentas lagi di Piala Asia. 

Lebih spesialnya lagi, kita tampil lewat jalur kualifikasi bukan sebagai tuan rumah seperti dulu. Jika sanksi itu terjadi, maka jelas Piala Asia hanya angan-angan. 

Punggawa garuda hanya gigit jari. Perjuangan yang berdarah-darah di Kuwait 2022 lalu harus dibayar mahal dan sia-sia.

Pada akhirnya, Israel tetap bermain di Piala Dunia karena mereka lolos lewat jalur kualifikasi. Kita yang lolos via jalur tuan rumah hanya bisa gigit jari karena tidak bermain.

Pun begitu, jika Indonesia terkena sanksi, Israel dan Palestina akan tetap asyik main bola. Sementara kita merana, hanya gigit jari. 

Selain itu, gagalnya Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia telah memupuskan mimpi anak-anak muda kita yang ingin tampil di ajang tersebut. 

Kekecewaan muncul dari anak-anak muda tersebut. Hal itu bisa dilihat dari pernyataan mereka di snapgram pribadinya. 

Misalnya pernyataan Hokky Caraka yang menyebut "memperjuangkan negara lain tapi harus mengorbankan mimpi anak bangsa." Tentu itu suatu ironi. 

Bahkan, lolos via jalur tuan rumah pun kita tidak mampu. Sungguh miris. Ini jadi preseden buruk bagi sepak bola Indonesia. Pepatah Prancis mengatakan,  "L'histoire se repete," sejarah berulang.

Ya, kita telah mengulang sejarah seperti yang dilakukan oleh Bung Karno dulu. Akibatnya pun sama, Indonesia dibayangi sanksi. Lalu, siapa yang harus bertanggung jawab? 

Yang jelas, kita tidak memikirkan dampak sanksi dari FIFA di balik penolakan itu. Jadi, memegang prinsip itu mahal sampai harus mengubur mimpi anak bangsa sendiri dan mengorbankan masa depan sepak bola Indonesia. 

Padahal jika kita berkepala dingin, bisa saja mencari jalan tengah. Hal ini karena bukan kali ini saja Isrsel datang ke Indonesia. 

Lebih dari itu, pada acara IPU di Bali parlemen Israel datang yang jelas-jelas politik sekali. Tapi, tetap jalan. Tahun 2015, atlet asal Israel main di Istora Senyan.

Mengapa sepak bola tidak bisa? Padahal jika kita ingin menolak bisa dengan cara lain. Misalnya mengganti entitas Israel dengan nama federasi sepak bolanya. 

Mengganti bendera negara dengan logo federasi bolanya. Untuk lagu kebangsaan juga bisa diganti. Hal ini bisa kita lihat pada Olimpiade 2021 lalu di Tokyo. Russia tampil dengan nama ROC. Hal serupa bisa saja terjadi. 

Toh jika kita tetap konsisten, pada Agustus 2023 ada ANOC World Beach di Bali. Di mana Israel ikut serta di sana. 

Apakah sikap politisi akan tetap sama? Atau hanya untuk sepak bola saja yang pamornya jauh lebih besar? Entahlah. Kita lihat saja apakah akan ada drama lain atau tidak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun