Dalam masyarakat saat ini, jika ada seseorang yang lahir miskin, maka itu bukan takdir. Tapi, akan dipandang sebagai kegagalan, atau pecundang.Â
Saya jadi teringat dengan video seorang perempuan terkait beasiswa LPDP. Dalam video itu, si perempuan menyebut jangan menyalahkan pemerintah tapi berusaha mengejarnya.
Dalam video itu juga disebutkan jika kita terlahir miskin ya jangan mengeluh. Tapi berusaha, kerja keras hingga akhirnya bisa menembus beasiswa LPDP.Â
Memang pernyataan tersebut tidak salah tapi tidak fair. Dalam budaya hustle culture, kerja keras adalah segalanya. Orang yang gagal akan dianggap sebagai pemalas.
Padahal ada faktor lain mengapa seseorang terlahir miskin. Misalnya kebijakan yang tidak merata atau akses pendidikan yang kurang. Artinya ada masalah struktural di situ.Â
Memang benar ada beberapa orang yang lahir miskin tapi bisa mendapat beasiswa LPDP. Tapi, itu pengecualian. Buktinya beasiswa ini didominasi oleh orang-orang dengan pendidikan yang baik dan ekonomi yang baik pula.Â
Jelas, mereka akan lebih mudah mengakses pendidikan yang berkualitas. Tapi, bagaimana dengan si miskin? Jelas berbeda. Kerja keras si miskin dengan si kaya beda.Â
Harus diakui, setiap orang punya privilese masing-masing. Untuk itu, jika ada seseorang yang bisa mencapai kehidupan luar biasa, bisa jadi ia memiliki privilese yang mendukung.Â
Jadi, mereka melangkah 10 kali lebih jauh dibanding dengan mereka yang tak memiliki privilese. Start hidup setiap orang berbeda.Â
Medioker itu istimewa
Seperti yang sudah diulas, dalam budaya meritokrasi dan hustle culture, kita tidak bisa menyalahkan keadaan jika terlahir miskin atau hidup biasa-biasa saja.Â
Hal itu karena dalam padangan dua paham di atas, kondisi itu lahir karena kita yang malas. Tapi, kita juga harus sadar bahwa mengetahui kapasitas diri sendiri juga penting.Â