Di sisi lain, institusi sekolah jelas tidak menghormati ruang privat siswanya. Hal itu karena pihak sekolah tidak memberi keadilan bagi penyebar tulisan Laras.Â
Arya yang jelas-jelas masuk tanpa izin ke blog pribadi Laras lepas dari hukuman. Sementara Laras yang tidak menyebarkan tulisannya harus menanggung semua akibatnya.Â
Itu sebabnya, Laras menyebut jika ranah privat di sekolah SMA Cahaya seperti "tai kucing." Berfantasi seksual jelas tidak dilarang selama dalam batas tertentu.Â
Dalam satu kutipan pidato Laras menyebut, "saya adalah manusia muda yang punya gairah dan perempuan yang sedang jatuh cinta."
Hal itu tidak salah. Hanya saja budaya kita bertolak belakang. Fantasi seksual seolah-olah hanya milik kaum lelaki. Jika ada perempuan yang memiliki hal itu dicap sebagai perempuan mesum bahkan liar.Â
Padahal sama seperti lelaki, perempuan juga punya gairah seksual. Selain itu, citra sebagai perempuan mesum kerap disematkan pada mereka yang kerap mengumbar kemolekan tubuhnya.
Itulah yang dipotret dalam film ini. Sebelum Laras mengaku, Dilla dituduh sebagai penulis cerita karena ia kerap tampil vulgar di media sosial.Â
Sementara Laras tidak dicurigai karena ia adalah anak berprestasi dan Ketua OSIS. Dengan citra itu, Laras dianggap lurus seolah-olah hal seksual jauh darinya.Â
Glorifikasi
Perdebatan lain yang muncul dalam film ini adalah, sebagian pihak menyebut jika film ini mengglorifikasi pelecehan seksual oleh perempuan.Â
Film inu dianggap menormalisasi pelecehan seksual yang dilakukan oleh perempuan. Padahal konsep cerita tersebut tidak demikian. Banyak yang menduga jika posisinya dibalik, maka film ini akan diboikot.Â
Seandainya jika David yang berfantasi, maka perdebatan akan lain lagi. Baik laki-laki dan perempuan bisa menjadi korban pelecehan seksual. Hanya saja budaya patriarki membuat korban laki-laki sulit untuk bersuara.