Menjelang tahun politik, berbagai isu muncul ke permukaan publik. Teranyar, tentu soal masa jabatan kades 9 tahun dan bisa dipilih tiga kali. Usulan itu kental dengan nuansa politik.
Bahkan secara terang-terangan ada janji antara kades dan politisi soal masa jabatan ini. Para kades mengancam akan menghabisi suara partai politik pada Pemilu 2024 jika usulan ini tidak direalisasikan.
Tidak lama setelah itu, muncul satu isu yang cukup menyita perhatian publik. Setelah melontarkan isu penundaan pemilu, Ketua Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar alias Cak Imin mengusulkan agar jabatan gubernur dihapus.
Cak Imin menyebut sebaiknya dalam pemilu hanya ada pilpres, pilbup, dan pilwalkot. Menurutnya, jabatan gubernur tidak terlalu fungsional dalam pemerintahan serta perlu dievaluasi.
"PKB sih mengusulkan pemilihan langsung hanya pilpres dan pilbup, pilkota. Pilgub tidak lagi karena melelahkan, kalau perlu nanti gubernur pun enggak ada suatu hari karena enggak terlalu fungsional di dalam jejaring pemerintahan, banyak sekali evaluasi," ujar Cak Imin
Cak Imin menegaskan bahwa fungsi gubernur tak lain hanya penyambung antara pusat dan daerah alias fungsi gubernur tidak efektif. Selain itu, anggaran yang dikeluarkan juga besar.
Di sisi lain, ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) memiliki pandangan berbeda. Bamsoet menilai yang perlu dievaluasi adalah pemilihannya, bukan jabatannya yang dihapus.
Bamsoet berpendapat sebaiknya gubernur dipilih langsung oleh pemerintah pusat, bukan dipilih rakyat secara langsung melalui pilkada.
“Saya pribadi dan kawan-kawan (berpendapat), enggak terkait dengan kelembagaan, ya, enggak terkait MPR enggak terkait DPR, sebaiknya memang gubernur ditunjuk mewakili pemerintah pusat,” kata Bamsoet
Bamsoet menyebut, hanya gubernur saja yang dipilih pemerintah pusat. Untuk jabatan bupati dan wali kota, dipilih secara langsung melalui pilkada.
Senada dengan Bamsoet, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menyatakan jabatan gubernur sebaiknya dipilih oleh presiden karena perpanjangan tangan pemerintah pusat untuk menjaga proyek strategis nasional.
Konsekuensi
Usulan Cak Imin, Ketua MPR, dan PSI soal gubernur perlu dikaji lebih dalam. Hal itu karena usulan tersebut memiliki akibat yang luas, khususnya dalam konstitusi Indonesia.
Dalam praktiknya, wilayah pemerintahan Indonesia terdiri dari pemerintah pusat dan daerah. Untuk pemerintah daerah terdiri dari provinsi, kabupaten, dan kota.
Setiap administrasi wilayah itu dipimpin oleh gubernur, bupati, dan wali kota. Dalam pelaksanaannya, pemerintah daerah diberi kewenangan oleh konstitusi untuk mengatur dapur pemerintahannya berdasarkan prinsip otonomi daerah.
Menghapus atau mengubah pemilihan gubernur jelas bertentangan dengan UUD 1945. Dalam Pasal 18 jelas diatur soal jabatan gubernur. Selain itu, pengisian jabatan daerah termasuk gubernur dipilih secara demokratis melalui pilkada.
Itu berarti, menghapus jabatan gubernur atau mengubah sistem pemilihan gubernur harus mengamandemen UUD 1945.
Sementara itu, amandemen UUD 1945 tidak sembarangan. Perlu ada alasan yang kuat dan urgen dalam mengubah konstitusi karena akan berpengaruh pada tatananan ketaganegaraan dan aturan yang ada di bawahnya.
Jika mengacu pada Pasal 37 UUD 1945, perubahan konstitusi di Indonesia termasuk rigid karena harus diajukan 1/3 anggota MPR. Selain itu, dalam mengubah pasal UUD 1945, sidang majelis harus dihadiri 2/3 dari jumlah anggota MPR.
Tapi, mengubah UUD 1945 tidak hanya soal terpenuhinya hitung-hitungan di atas. Perlu alasan yang kuat dan jelas agar UUD 1945. Selain itu, pasal 37 sebenarnya salah satu cara agar konstitusi kita berlaku dinamis.
Jika ada pasal yang sudah tidak sesuai dengan zaman, maka berdasarkan Pasal 37 kita tidak perlu mengubah keseluruhan UUD 1945, tapi hanya sebatas pasal yang ingin diubah.
Pertanyaannya adalah, apakah alasan tidak efektif atau jabatan gubernur yang tidak fungsional cukup untuk dijadikan alasan mengubah UUD 1945? Bagi saya tidak.
Gubernur adalah perpanjangan tangan pemerintah pusat. Di tangan gubernur, kebijakan pemerintah pusat di daerah akan diakomodir, tapi bukan dalam kewenangan pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam asas pembantuan.
Selain itu, menghilangkan jabatan gubernur juatru akan memberi beban kerja lebih pada pemerintah pusat karena tanpa gubernur, pemerintah pusat akan mengakomodir lebih banyak daerah.
Tapi, dengan adanya jabatan gubernur maka tugas itu bisa diambil alih. Akibat lainnya adalah, jika jabatan gubernur dihapus, maka DPRD tingkat provinsi juga akan hilang.
Hal itu karena DPRD provinsi adalah pengawas pemerintah provinsi sebagaimana pemerintah pusat dan DPR. Pun begitu jika gubernur dipilih langsung oleh pemerintah pusat.
Maka, eksistensi DPRD provinsi bisa dipertanyakan. Siapa yang akan mengawasi gubernur? Jika terjadi, bukankah itu menjadi kemunduran dalam demokrasi?
Rakyat tidak menentukan sendiri kepala daerahnya melainkan dipilih oleh presiden. Jelas sistem ini merupakan kemunduran dalam bernegara. Sehingga urgensi usulan itu bagi saya jelas tidak ada urgensinya.
Patut kita pertanyakan usulan ini muaranya akan mengalir kemana. Ujung-ujungnya pasti amandemen UUD 1945 kelima. Isu ini sempat muncul begitu kuat dibarengi dengan munculnya PPHN yang dilontarkan oleh Bamsoet.
Bisa jadi, dengan menghapus atau mengubah sistem pemilihan gubernur akan mengubah atau menghidupkan pasal lain zaman orde baru. Apalagi, saat ini parlemen begitu kuat.
Oposisi seperti hilang taringnya. Jika kembali pada hitung-hitungan Pasal 37, bukan tidak mungkin dengan parlemen yang gemuk amandemen akan terjadi.
Jika demikian, maka konstitusi kita jelas tidak ada harga dirinya. Esensi perubahan konstitusi tidak lagi berdasarkan kepentingan zaman, tapi kehendak politik dan penguasa. Jika penguasa dan politik kuat, maka konstitusi dapat diubah sesuka hati.
Revisi UU 23 Tahun 2014
Jika kritik Cak Imin soal jabatan gubernur tidak fungsional, maka yang perlu diperbaiki adalah tata kelolanya, bukan menghapus jabatannya.
Hal ini bisa dimulai dengan merevisi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Bisa saja jabatan gubernur diberi kewenangan yang lebih fungsional bukan hanya sekadar penyambung pusat dan daerah.
Meski begitu, dalam UU No. 23/2014 pun pemerintah daerah yakni gubernur, bisa dilibatkan dalam urusan pemerintah pusat. Misalkan dalam urusan pemerintah absolut, dalam Pasal 10 disebutkan jika pemerintah dapat melaksanakannya sendiri atau melimpahkan kepada gubernur berdasarkan asas dekosentrasi.
Artinya, gubernur bukan hanya sekadar penyambung pusat saja, ia juga bisa menjadi tangan kanan pemerintah pusat dengan turut serta melaksanakan urusan pemerintah pusat.
Jadi, bagi saya jika ingin memberi fungsi yang jauh lebih strategis pada gubernur, maka tata kelola pemerintahannya yang harus dievaluasi, bukan menghapus jabatannya.
Perlu diketahui, jabatan gubernur tak lain adalah salah satu untuk membentuk karakter pemimpin naisonal. Kita tahu, masa kepemimpinan di daerah khsusnya gubernur menjadi tolak ukur untuk calon presiden.
Bahkan, Pak Jokowi pun pernah menjadi orang nomor 1 DKI Jakarta sebelum menjadi presiden. Menghapus jabatan gubernur jelas hanya akan menimbulkan masalah lain, khususnya dalam otonomi daerah dan amandemen UUD 1945.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H