Gubernur adalah perpanjangan tangan pemerintah pusat. Di tangan gubernur, kebijakan pemerintah pusat di daerah akan diakomodir, tapi bukan dalam kewenangan pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam asas pembantuan.Â
Selain itu, menghilangkan jabatan gubernur juatru akan memberi beban kerja lebih pada pemerintah pusat karena tanpa gubernur, pemerintah pusat akan mengakomodir lebih banyak daerah.Â
Tapi, dengan adanya jabatan gubernur maka tugas itu bisa diambil alih. Akibat lainnya adalah, jika jabatan gubernur dihapus, maka DPRD tingkat provinsi juga akan hilang.Â
Hal itu karena DPRD provinsi adalah pengawas pemerintah provinsi sebagaimana pemerintah pusat dan DPR. Pun begitu jika gubernur dipilih langsung oleh pemerintah pusat.Â
Maka, eksistensi DPRD provinsi bisa dipertanyakan. Siapa yang akan mengawasi gubernur? Jika terjadi, bukankah itu menjadi kemunduran dalam demokrasi?Â
Rakyat tidak menentukan sendiri kepala daerahnya melainkan dipilih oleh presiden. Jelas sistem ini merupakan kemunduran dalam bernegara. Sehingga urgensi usulan itu bagi saya jelas tidak ada urgensinya.
Patut kita pertanyakan usulan ini muaranya akan mengalir kemana. Ujung-ujungnya pasti amandemen UUD 1945 kelima. Isu ini sempat muncul begitu kuat dibarengi dengan munculnya PPHN yang dilontarkan oleh Bamsoet.Â
Bisa jadi, dengan menghapus atau mengubah sistem pemilihan gubernur akan mengubah atau menghidupkan pasal lain zaman orde baru. Apalagi, saat ini parlemen begitu kuat.Â
Oposisi seperti hilang taringnya. Jika kembali pada hitung-hitungan Pasal 37, bukan tidak mungkin dengan parlemen yang gemuk amandemen akan terjadi.Â
Jika demikian, maka konstitusi kita jelas tidak ada harga dirinya. Esensi perubahan konstitusi tidak lagi berdasarkan kepentingan zaman, tapi kehendak politik dan penguasa. Jika penguasa dan politik kuat, maka konstitusi dapat diubah sesuka hati.Â
Revisi UU 23 Tahun 2014
Jika kritik Cak Imin soal jabatan gubernur tidak fungsional, maka yang perlu diperbaiki adalah tata kelolanya, bukan menghapus jabatannya.