Artinya, jika mengacu pada Pasal 44, setiap anak yang melakukan tindak pidana tidak bisa dipidana karena tidak terdapat kesalahan padanya. Untuk bisa dipidana, maka harus ada kesahalan, jadi jika tidak ada kesalahan maka tidak bisa dipidana.Â
Akan tetapi, dalam perkembangannya anak juga bisa menjadi pelaku tindak pidana. Inilah problemnya. Untuk menjawab hal itu, maka lahirlah UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
SPPA hadir untuk menyelesaikan masalah itu. Perlu digarisbawahi, peradilan anak tidak sama dengan orang dewasa karena akan berpengaruh pada psikologi anak. Jadi, peradilan anak tetap harus ramah pada anak. Â Â
Asas ultimum remedium
Faktanya anak-anak memang bisa menjadi pelaku tindak pidana. Ini sudah tidak bisa dikategorikan lagi sebagai kenakalan remaja karena telah melanggar undang-undang.Â
Apabila ada anak yang menjadi pelaku tindak pidana atau bahasa UU SPPA adalah anak berkonlfik dengan hukum, maka ada beberapa tahapan dalam menyelesaikan perkara tersebut.
Perlu digarisbawahi, memenjarakan anak adalah bukan poin utama dalam UU SPPA. Mengapa demikian? Titik utama dalam UU SPPA adalah pembinaan yang mana akan meningkatkan kesadaran pada anak. Â Â
Lalu, bagaimana UU SPPA mengatur ketentuan ini? Di dalam Pasal 69 diatur mengenai dua hal, anak yang berkonflik dengan hukum dapat dijatuhi pidana atau tindakan. Pidana yang dimaksud jelas menurut UU SPPA.Â
Di dalam Pasal 71, pidana pokok terhadap anak terdiri dari: 1) peringatan, 2) pidana dengan syarat yang meliputi pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat, atau pengawasan, 3) pelatihan kerja, 4) pembinaan dalam lembaga, 5) penjara.Â
Kemudian pidana tambahan terdiri dari  perampasan  keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau pemenuhan kewajiban adat.
Apabila dalam hukum materiil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan denda, pidana denda diganti dengan pelatihan kerja.
Lalu, bagaimana dengan tindakan? Tindakan hanya dapat dikenakan pada anak yang belum berusia 14 tahun.Â