Indonesia harus menelan pil pahit setelah tersingkir dari Piala AFF 2022. Kepastian itu didapat setelah Indonesia kalah dengan skor 2-0. Dari hasil itu, dari awal kita terlalu menaruh harapan terlalu tinggi.Â
Laga kontra Vietnam menjadi pembuktian bagi kedua pelatih antara Shin Tae-yong dan Park Hang-seo. Shin Tae-yong selaku pelatihTimnas Indonesia menyebut jika kualitas Indonesia sudah setara dengan Vietnam.
Praktis pernyataan itu dibantah oleh Park Hang-seo. Menurutnya, Indonesia memang menjadi lebih kuat usai diasuh oleh STY, tapi untuk kualitas Vietnam masih tetap di atas.Â
Park Hang-seo lantas menantang agar STY membuktikan ucapannya itu di lapangan. STY juga harus bertanggung jawab dengan pernyataan itu. Jika Vietnam kalah, Park denga tegas akan mengakui.Â
Nyatanya ucapan Park Hang-seo yang benar. Indonesia takluk dari Vietnam dengan skor 2-0. Meski pada leg pertama bermain apik, pada leg kedua Indonesia justru bermain tidak meyakinkan.Â
Bayangkan saja, dalam laga itu Indonesia tidak mampu menciptakan satu tembakan ke gawang sama sekali. Capaian ini tentu paling buruk sepanjang Piala AFF 2022.
Artinya Indonesia sama sekali tidak membuat kiper Vietnam melakukan penyelamatan berbahaya. Kebobolan pada menit awal membuat mental pemain terpukul.Â
Mereka tidak bisa bangkit. Lagi-lagi masalah serupa kerap terjadi seperti passing hingga ego pemain yang tinggi. Satu hal yang pasti, apakah permainan pada leg pertama adalah permainan maksimal Indonesia?
Jika iya, maka hanya sebatas itulah batas kualitas Indonesia yakni menahan imbang Vietnam. Artinya kualitas Indonesia tidak bisa dinaikkan lagi alias sudah mentok.Â
Siklus
Kegagalan ini tentu akan melahirkan siklus yang terus berulang sampai-sampai pola ini akan terus terjadi jika tidak ada perbaikan.Â
Siklus pertama tentu pelatih menjadi korban pertama. Pertama, pelatih paling mudah dikambing hitamkan atas kegagalan sebuah tim.Â
Hal itu bisa dibuktikan dengan suara-suara agar STY untuk mentok. Padahal kita tahu jika STY adalah pelatih kelas dunia. Pelatih kelas dunia sekalipun gagal membawa juara hanya untuk turnamen regional Piala AFF.Â
Artinya pelatih bukan menjadi faktor paling berpengaruh. Pelatih hanya salah satu faktor saja. Maka setelah siklus ini akan berpindah pada siklus kedua yakni federasi.
Berbicara PSSI, tentu tak ada matinya. Tapi yang dibicarakan adalah hal-hal buruk. Tentu kita tahu orang-orang di balik PSSI itu seperti apa.Â
Pengurus PSSI seakan tidak peduli dengan prestasi Timnas. Di sisi lain federasi juga ikut serta terutama dalam menciptakan sarana dan prasarana penunjang.Â
Maka siklus ketiga adalah kualitas kompetisi dan fasilitas. Kualitas kompetisi masih jauh dibanding negara tetangga Malaysia. Harus diakui, liga Malaysia jauh lebih baik daripada Liga 1.
Banyak yang berkata jika kualitas liga akan menentukan kualitas timnas. Meski kita tahu hal ini tidak sepenuhnya tepat. Inggris memiliki kualitas liga terbaik tapi prestasi timnas jalan di tempat.Â
Tentu yang harus kita benahi adalah kualitas pembinaan usia muda yang muaraya jelas ke kompetisi yang efektif. Bisa kita saksikan sendiri hal-hal mendasar seperti passing saja tidak jelas.Â
Tentu hal-hal mendasar itu harus dibenahi sejak anak-anak masuk akademi. Menggocek adalah skill, tapi passing adalah kunci.Â
Maka jalan paling radikal untuk mendongkrak kualitas timnas tak lain dengan jalan instan yakni naturalisasi. Bukan berarti tidak percaya pemain lokal, tapi coba lihat ketika Jordi Amat main atau Marc Klok, keduanya stabil dibanding pemain lain.Â
Andai saja Indonesia memiliki 11 pemain seperti Jordi Amar dan Marc Klok, mungkin Indonesia akan berbicara banyak bahkan di Asia.Â
Sekali lagi, saya bosan dengan siklus-siklus di atas. Para pemangku kepentingan sepak bola tidak serius dalam membenahi timnas mereka. Dari 270 juta penduduk, rasanya sulit untuk mencari 11 pemain yang bisa membawa harum sepak bola.Â
Apa lagi yang harus dibenahi? Jika hal di atas tidak serius ditangani, maka ya mau tak mau kualitas Indonesia mentok tak bisa dinaikkan lagi.Â
Mau pelatih sehebat apalagi yang dibutuhkan Indonesia untuk merombak tim? Pep Guardiola pun rasanya sulit mendongkrak prestasi Indonesia jika siklus di atas tidak diubah.Â
Jangan heran di masa depan nanti Indonesia akan kesulitan melawan Kamboja. Sejauh ini Kamboja adalah negara yang serius membenahi sepak bolanya.Â
Apa kita rela jika nanti sepak bola kita setara dengan Kamboja? Negara yang selalu kita bully? Tentu kita tidak rela.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H