Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mencari Wakil Rakyat Kompeten dengan Sistem Proporsional Terbuka

11 Januari 2023   09:41 Diperbarui: 11 Januari 2023   10:07 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebanyak delapan Partai Politik menyatakan sikap menolak Pemilihan Umum (Pemilu) dengan sistem proporsional tertutup. | Sumber: KOMPAS.COM

Pemilu adalah sarana melaksanakan kedaulatan rakyat dengan memilih calon pemimpin baik legislatif mau pun eksekutif. Pemilu umumnya dilakukan dalam periode tertentu untuk mengganti kekuasaan yang lama. 

Itu sebabnya pemilu adalah cara yang tepat untuk mengganti kekuasaan secara sah dan legal. Indonesia akan menjalani pemilu pada 2024. Sama seperti pemilu 2019, pemilu 2024 juga dibarengkan dengan pemilu legislatif.

Agar pemilu berjalan dengan baik, maka harus ada sistem yang menjalankannya. Tanpa adanya sistem, tentu pemilu akan kacau. Umumnya sistem pemilu di dunia terdiri dari sistem distrik, proporsional, dan campuran. 

Menjelang pemilu 2024, muncul usulan agar siatem proporsional tertutup dipakai lagi. Hal itu dilontarkan oleh Ketua KPU Hasyim Asyari. 

Meski begitu, pernyataan Hasyim Asyari menuai polemik. KPU sejatinya pelaksana undang-undang, jadi tidak elok jika menggulirkan usulan tersebut. 

Di sisi lain, pernyataan itu membuat sejumlah parpol di parlemen meradang dan menolak usulan tersebut. Sistem proporsional terbuka adalah sebuah kemajuan dan sebaiknya tetap dipertahankan.

Kedelapan parpol itu yakni Partai Gerindra, Golkar, Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Airlangga Hartanto menyebut jika proporsional tertutup adalah kemunduran dalam demokrasi. Airlangga menyebut akan berkomitmen mempertahankan proporsional terbuka warisan masa reformasi. 

"Kami menolak proporsional tertutup dan memiliki komitmen untuk menjaga kemajuan demokrasi di Indonesia yang telah dijalankan sejak era reformasi,” ujar Airlangga.

Satu-satunya parpol yang mendukung sistem proporsional tertutup adalah PDI-P perjuangan. Salah satu alasannya adalah karena ongkos politik yang mahal. Seperti yang diketahui, dalam proporsional terbuka setiap calon akan berkampanye untuk mempromosikan diri.

Sementara itu, biaya kampanye tidak sedikit. Ongkos politik inilah yang membuat mental politikus korup. Salah satu alasan lainnya adalah proporsional terbuka mendorong perilaku liberalisme dan popularitas yang tidak sebanding dengan kapasitas menjalankan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. 

Hal itu disampaikan oleh Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto. 

“Saya melakukan penelitian secara khusus dalam program doktoral saya di Universitas Indonesia, di mana liberalisasi politik telah mendorong partai-partai menjadi partai elektoral, dan kemudian menciptakan dampak kapitalisasi politik, munculnya oligarki politik, kemudian persaingan bebas dengan segala cara," kata Hasto.

Dari pernyataan Hasto, dapat kita tarik kesimpulan bahwa proporsional tertutup memungkinkan terpilihnya wakil rakyat karena popularitas bukan karena kapasitas yang dimiliki. 

Mencari wakil rakyat kompeten

Sistem proporsional tertutup adalah sistem perwakilan berimbang. Nantinya pemilih hanya dapat memilih partai politik, pemilih tidak akan memilih kandidat wakil rakyat. 

Sementara itu, kandidat dipersiapkan oleh partai politik. Dalam sistem ini, partai politik telah menentukan kandidat yang akan mendapatkan kursi parlemen. 

Sehingga kandidat yang menempati urutan teratas berpotensi melaju ke parlemen. Sementara kandidat yang menempati urutan terbawah akan sulit mendapatkan kursi. 

Dalam sistem ini, suara partai yang sudah mencapai ambang batas parlemen akan dibagikan kepada kandidat yang telah didaftarkan. Artinya masyarakat tidak tahu siapa wakil rakyat yang akan dipilih. 

Itu sebabnya sistem ini ibarat membeli kucing dalam karung. Masyarakat tidak tahu secara jelas kapasitas calon wakil rakyat seperti apa. Kedekatan dengan rakyat pun jelas bias. 

Dari sisi keterwakilan jelas tidak setinggi proporsional terbuka. Hal itu karena sejatinya pemilih mimilih partai bukan wakil rakyat. Jadi, demokrasi yang dijalankan sebenarnya mengalami kemunduran. 

Dalam sistem terbuka, rakyat memiliki kuasa penuh pada wakil rakyat karena mereka yang menentukan. Untuk itu, dari sisi keterwakilan maka sistem proporsional tertutup tidak penuh. 

Selain itu, di balik ngototnya PDI-P tentu ada alasan tersendiri. Hal itu karena dalam beberapa survei PDI-P selalu menempati urutan teratas. Sehingga ketentuan ini jelas hanya menguntungkan PDI-P.

Apalagi banyak masyarakat yang memilih PDI-P bukan karena wakil yang ditentukan. Itulah sebabnya mengapa sistem ini begitu menguntungkan PDI-P.

Lantas, apakah benar jika dengan sistem ini hanya akan memunculkan wakil rakyat yang tidak kompeten? 

Dalam praktiknya, menurut saya tanggung jawab partai politik adalah menciptakan kader berkualitas untuk memimpin di parlemen atau eksekutif.

Dengan kata lain, mencetak wakil rakyat yang kompeten adalah tugas partai. Hal itu karena salah satu tugas partai adalah kaderisasi. 

Untuk itu, sebaiknya setiap orang yang ingin mendaftar sebagai calon wakil rakyat, partai harus menetapkan standar tinggi terhadap calon.

Partai harus lebih selektif lagi dalam menyiapkan calon wakil rakyat yang kompeten. Jadi, menjaga kualitas wakil rakyat adalah tugas dari partai politik. 

Memang benar jika pemilih akan memilih wakil rakyat berdasarkan popularitas. Tapi harus diingat, bukankah partai politik sendiri yang hobi merekrut orang dengan popularitas tinggi untuk menjadi kader seperti selebriti? 

Bahkan PDI-P sendiri melakukan hal itu. Misalnya merekrut Krisdayanti. Apakah pertimbangan itu hanya berdasarkan popularitas atau kapasitas?

Dengan kata lain munculnya wakil rakyat yang dianggap tidak kompeten adalah ulah parpol sendiri. Justru parpol yang selalu mencari jalan pintas dengan merekrut orang-orang populer.

Keberadaan mereka dinilai bisa menaikkan pamor partai. Apalagi orang yang dirangkul adalah sosok publik figur yang terkenal dan mempunyai basis fans banyak.

Jadi, tidak sepenuhnya tepat jika sistem proporsional terbuka hanya akan melahirkan wakil rakyat yang tidak kompeten. Justru yang memulai itu adalah partai politik dengan mencari jalan instan. 

Meski dengan sistem terbuka, partai politik harus menyiapkan calon yang berkualitas. Itulah esensi dari partai politik dengan memberikan pilihan calon-calon yang kompeten kepada masyarakat. 

Untuk sebab itu, setiap partai politik setidaknya memiliki aturan tersendiri bagi mereka yang ingin nyaleg. Setidaknya orang tersebut harus benar-benar matang dan ahli di bidangnya. 

Jika kader tersebut masih belum matang meski memiliki popularitas tinggi, maka parpol seharusnya menunda lebih dulu keikutsertaan mereka. 

Jadi, sistem proporsional terbuka bisa lebih demokratis dengan mencari wakil rakyat yang kompeten. Justru partai politik adalah filter pertama yang bertugas menyiapkan calon berkualitas itu. 

Dengan sistem terbuka, maka kedaulatan rakyat dilaksanakan secara penuh karena di tangan rakyat calon wakil rakyat ditentukan. Jadi, secara moral maka wakil rakyat itu bertanggung jawab langsung pada rakyat yang telah memilihnya. 

Berbeda dengan sistem tertutup di mana calon telah ditetapkan lebih dulu. Pilihan partai belum tentu pilihan pemilih. Jadi, secara moral wakil rakyat itu tidak mewakili rakyat melainkan parpol.

Wakil rakyat seharusnya dipilih langsung oleh rakyat bukan ditentukan oleh parpol. Dari sisi moral, maka kedudukan rakyat jauh lebih tinggi dibanding dengan partai politik. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun