Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Perppu No. 2 Tahun 2022, Siasat Pemerintah Akali Putusan MK tentang UU Cipta Kerja?

2 Januari 2023   10:51 Diperbarui: 5 Januari 2023   09:10 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak pertama kali diusulkan pada tahun 2019, UU Cipta Kerja atau omnibus law tidak pernah lepas dari polemik. Mulai dari penyusunannya yang kurang terbuka hingga pengesahannya yang terburu-buru.

Bayangkan saja, 14 kluster dan ratusan undang-undang dibahas hanya dalam tempo relatif cepat yakni kurang lebih satu tahun. Belum lagi materi muatan UU Cipta kerja ditentang oleh akademisi, buruh, hingga aktivis lingkungan. 

Akan tetapi, apa mau dikata jika pemerintah seperti tanpa oposisi. Dengan mudah UU Cipta Kerja lolos dan diketok pada tahun 2020. Penolakan terus berlanjut sampai ke Mahkamah Konstitusi. 

Pada tahun 2021, MK menyatakan jika UU Cipta Kerja cacat prosedur alias cacat formil. Untuk itu, MK memberi waktu pada pemerintah untuk merevisi UU Cipta Kerja selama dua tahun. 

Apabila melewati batas waktu tersebut, maka UU Cipta Kerja tidak akan berlaku secara permanen. Meski begitu, pemerintah memiliki jalan pintas untuk melaksanakan putusan MK tersebut dengan menerbitkan Perppu. 

Jalan pintas

Pada Juma'at 31 Desember 2022, secara mendadak pemerintah melalui Menteri Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD serta Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej mengumumkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. 

Dalam keterangan pers, Airlangga menyebut Perppu UU Cipta Kerja tak lain untuk merespons kondisi global baik itu secara ekonomi mau pun geopolitik. 

Dari sisi ekonomi, ancaman tersebut tak lain seperti resesi global, peningkatan inflasi, dan stagnasi. Sementara kondisi geopolitik disebut imbas dari perang Rusia-Ukraina yang memengaruhi krisis iklim, pangan, dan energi. 

“Pemerintah perlu mempercepat antisipasi terhadap kondisi global, baik yang terkait dengan ekonomi, kita menghadapi resesi global, peningkatan inflasi, kemudian ancaman stagflasi,” ujar Airlangga

Di sisi lain, Airlangga menyebut jika Perppu UU Cipta Kerja sudah sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 untuk memenuhi frasa "kegentingan memaksa."

Menurut Airlangga, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-VIII/2020 yang menyatakan cacat formil sangat berpengaruh pada dunia usaha baik di dalam mau pun luar negeri. Sementara itu, pemerintah berupaya mejaring investasi untuk pertumbuhan ekonomi. 

Sementara itu, Mahfud MD dalam instagram pribadinya menyebut Putusan MK Nomor 91/PUU-VIII/2020 menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. MK lantas memberi waktu 2 tahun untuk memperbaiki. 

Mahfud memyebut perbaikan itu bisa dilakukan dengan membuat undang-undang baru atau membuat aturan setingkat undang-undang. Maka Perppu adalah pilihan yang tepat. 

Lebih jauh Mahfud juga menjelaskan perihal kegentingan memaksa yang mencakup kondisi dalam negeri dan luar nengeri termasuk perang Rusia- Ukraina. 

Di sisi lain, pemerintah seolah mengambil jalan pintas dan jelas tidak menghormati putusan Mahkamah Konstitusi. Untuk itu, kiranya Perppu di atas tidak sejalan dengan titah MK. 

"Akal bulus"

Pada November 2021 lalu,  Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 91/PUU-ViII/2020 menyebut UU Cipta Kerja cacat formil. Di dalam amar putusannya, MK jelas memerintahkan untuk memperbaiki dalam waktu 2 tahun. 

Lantas bagaimana dengan Perppu itu sendiri? Jelas yang menjadi perdebatan adalah perihal kegentingan memaksa. Dalam teori, frasa kegentingan memaksa memang subjektif presiden. 

Untuk itu, MK memberikan tafsir kegentingan memaksa melalui putusan Nomor 138/PUU-XVII /2009. Tafsir tersebut tak lain guna membatasi agar presiden tidak mengeluarkan Perppu dengan harga murah. 

Meskipun Perppu menjadi subjektif presiden, akan tetapi hal itu tidak absolut. Penilaian terhadap "kegentingan mamaska" harus tetap obejektif. 

Oleh sebab itu, frasa kegentingan memaksa harus benar-benar terpenuhi. Di dalam Putusan Nomor 138/PUU-XVII/2009 dijelaskan yang dimaksud dengan kegentingan memaksa mencakup tiga hal. 

Pertama, adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.

Kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai

Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang- undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Jika berkaca pada kondisi di atas, maka yang dimaksud dengan kegentingan memaksa tak lain adalah adanya kekosongan hukum. Akan tetapi, jika kita berkaca pada putusan MK Nomor 91/PUU-VIII/2020 sendiri metode omnibus sendiri tidak jelas. 

Apakah omnibus itu sendiri mencabut undang-undang, mengubah, atau membuat norma hukum baru. Itulah hal mendasar mengapa UU Cipta Kerja di atas cacat formil. 

Di sisi lain, alasan kegentiangan memaksa sendiri terlalu jauh, yakni kondisi ekonomi global bahkan menyinggung perang Rusia-Ukraina. Jika ekonomi menjadi salah satu alasan lantas mengapa pembangunan IKN tetap berlanjut. 

Jika poin ketiga menjadi alasan, mengapa dalam praktiknya UU Cipta Kerja dikerjakan dengan buru-buru? Bahkan dalam waktu kurang lebih satu tahun UU Cipta Kerja bisa selesai. Tapi untuk perbaikan mengapa tidak? Padahal MK sudah memberi waktu 2 tahun. 

Selain itu, dalam putusan MK juga disebut bahwa pemerintah harus melakukan perbaikan. Lantas apakah Perppu masuk ke dalam perbaikan? Bagi saya rumit jika isi dari Perppu itu sendiri tidak berubah. 

Faktanya meski telah diubah oleh Perppu, materi muatan Perppu sendiri tidak berubah dan tetap diprotes oleh buruh. Artinya tidak ada perbaikan sama sekali. Selain itu, Perppu di atas mencerminkan jika pemerintah membangkang pada MK.

Perlu diketahui, salah satu hal penting dalam putusan MK adalah adanya partisipasi bermakna. Inilah yang membuat UU Cipta Kerja bermasalah. Sementara itu, Perppu sendiri mutlak ada di tangan presiden. 

Meski nantinya akan dibahas di DPR, tetap saja akan menutup partisipasi masyarakat luar. Sehingga hasilnya Perppu tersebut tidak mengakomodasi kepentingan banyak pihak. 

Selain itu, tidak adanya partisipasi bermakna semakin terlihat jelas ketika pengumuman Perppu tersebut. Hal itu karena dokumen Perppu tidak bisa diakses sejak diumumkan oleh pemerintah. 

Meski saat ini bisa diakses melalui tautan ini, bagi saya Perppu ini bukan merupakan perbaikan karena isinya dinilai tidak berubah. Perppu adalah jalan pintas bagi pemerintah untuk mengakali putusan MK. 

Perlu diingat, MK memerintahkan untuk memperbaiki. Memperbaiki artinya lebih baik dari yang sebelumnya bukan dengan cara membungkus dengan kemasan baru tapi isinya tidak jauh berbeda. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun