Pemerintah dan DPR secara resmi telah mengesahkan RKUHP pada tanggal 6 Desember 2022 lalu. Meski telah disahkan, akan tetapi KUHP baru tersebut masih menimbulkan polemik. Salah satu yang disoroti adalah pasal perzinaan yang dinilai bisa menganggu investasi.Â
Gelombang penolakan KUHP baru terus terjadi. Sejumlah koalisi masyarakat sipil terus mengkritik KUHP karena dinilai memberangus kebebsan berpendapat.Â
Selain itu, pasal yang disorot adalah tentang perzinaan. Beberapa kalangan menyebut jika negara ikut campur terlalu jauh untuk urusan privasi warga bahkan sampai urusan ranjang.Â
Tidak hanya dari dalam negeri, media luar pun turut menyoroti pasal perzinaan ini. The New York Times misalnya memberi judul berita "In Sweeping Legal Overhaul, Indonesia Outlaws Sex Outside Marriage."
Dalam artikel itu dijelaskan bahwa Indonesia adalah negara toleran dan paling terdepan dalam demokrasi. Akan tetapi dengan disahkannya KUHP justru menurunkan citra itu. Belum lagi soal seks di luar nikah menjadi ilegal dan pasal penghinaan presiden.Â
Media lain seperti Fox News memberikan pandangan senada. Menurut Fox News KUHP sendiri akan berdampak pada sektor pariwisata di Indonesia.Â
Selain itu, Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Sung Yom Kim juga memberikan pandangan yang sama. Menurut Kim, pasal tentang perzinaan dan kumpul kebo akan berdampak pada investasi bisnis di Indonesia.Â
"Kami tetap khawatir bahwa pasal-pasal moralitas yang mencoba mengatur apa yang terjadi dalam rumah antara orang dewasa yang suka sama suka dapat berdampak negatif terhadap iklim investasi di Indonesia," kata Kim dalam forum US-Indonesia Investment Summit, Selasa (6/12).
Sesaat setelah disahkan, sektor pariwisata terpukul. Beberapa turis asing diketahui membatalkan rencana liburannya ke Labuan Bajo karena takut dengan aturan zina dan kumpul kebo.Â
Para pelaku sektor pariwisata kompak menentang pasal ini karena dinilai akan mengurangi kunjungan turis asing ke Indonesia. Hal itu karena mereka takut jika sekamar dengan sang kekasih akan dikenakan penjara.Â
Apalagi pasal tersebut jelas bertentangan dengan tujuan ekonomi Indonesia yang salah satunya adalah di bidang wisata. Geliat wisata kembali bangkit pasca covid-19.
Akan tetapi banyak kalangan takut jika pasal perzinaan dan kumpul kebo itu bisa mengurangi sektor pariwisata. Seberapa besarkah dampak pasal ini pada sektor pariwisata? Apakah akan merugikan Indonesia atau tidak?Â
Bukan barang baru
Berbicara soal pasal perzinaan di KUHP tentu bukan barang baru. Di dalam KUHP versi peninggalan Belanda pasal tersebut sudah diatur. Hanya saja keberadaan pasal zina dalam KUHP Belanda tersebut tidak booming seperti di KUHP baru.Â
Perzinaan sendiri diatur dalam Pasal 284 KUHP lama yang berbunyi:
Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:
l. a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,
b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya;
2. a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;
b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.
Kemudian di KUHP versi terbaru diatur di dalam Pasal 411 yang berbunyi:
Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II.
Sebetulnya tidak ada perbedaan mencolok antara pasal perzinaan di KUHP versi sekarang dan yang lama. Bedanya perzinaan untuk KUHP versi sekarang lebih luas.
Di KUHP versi lama disebutkan bahwa yang disebut dengan zina itu jika laki-laki atau istri telah menikah. Artinya zina itu terjadi jika pelaku sudah terikat oleh perkawinan.Â
Itu berarti salah satu pelaku atau dua-duanya tidak terikat perkawinan jelas tidak bisa dikenakan pasal perzinaan ini.Â
Kemudian di dalam penjelasan KUHP baru frasa "bukan suami atau istrinya" maknanya diperluas yang mencakup:
- laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya;
- perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki yang bukan suaminya;
- laki-laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan;
- perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki, padahal diketahui bahwa laki-laki tersebut berada dalam ikatan
perkawinan; atau - laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan melakukan persetubuhan.
Nah, jadi perbedaan paling mencoloknya adalah segala perbuatan sex di luar pernikahan masuk ke dalan zina. Entah itu kedua pihak terikat dalam perkawinan, salah satunya, atau tidak terikat sama sekali.Â
Meski begitu, delik yang dipakai di KUHP baru tetap sama dengan KUHP lama yakni delik aduan. Delik aduan berbeda dengan delik biasa. Delik biasa adalah delik yang langsung diproses oleh penyidik tanpa adanya persetujuan dari korban atau pihak yang dirugikan.
Dengan kata lain, tanpa adanya pengaduan atau sekalipun korban telah mencabut laporannya, penyidik tetap memiliki kewajiban untuk melanjutkan proses perkara tersebut.
Contoh delik biasa di antaranya pembunuhan, peroksaan, dan perbuatan lain yang bisa mengganggu ketertiban umum. Jadi, meski tanpa adanya aduan dari korban perbuatan di atas penyidik wajib memproses karena mengganggu ketertiban umum.Â
Sementara itu, delik aduan adalah delik yang mana harus ada laporan atau aduan terlebih dahulu, baru penyidik dapat memprosesnya. Di sini yang berhak mengadu pun tidak semua orang.Â
Dalam penghinaan misalnya, yang berhak mengadu adalah korban bukan pihak lain. Sementara untuk zina, yang berhak mengadu adalah keluarga. Dengan kata lain, selama tidak ada aduan dari pihak keluarga maka pasal zina ini tidak akan berlaku.Â
Selain itu, delik aduan juga bisa dicabut laporannya oleh pengadu. Berbeda dengan delik biasa yang tidak bisa dicabut aduannya.Â
Jika melihat ketentuan itu, sebenarnya menurut hemat penulis tidak akan mengganggu investasi di Indonesia karena dari sisi hukum tidak menjadi delik biasa. Akan tetapi justru melindungi.Â
Jadi, tidak bisa orang lain yang tiba-tiba menggrebek pasangan muda-mudi yang tengah bercumbu. Apalagi pelaku bukan keluarga.Â
Lalu pertanyaan lain apakah pasal ini berlaku bagi orang luar? Jawabannya iya. Bahkan semua aturan pidana di Indonesia berlaku bagi setiap orang yang ada di Indonesia (bukan hanya zina saja).Â
Jadi, jika ada turis yang hendak berlibur ke Bali dengan membawa kekasih ya silakan. Mereka tidak akan mendapat intimdiasi dari penegak hukum jika tidak ada laporan.
Toh rasanya tidak mungkin juga keluarga mereka yang dari luar negeri datang jauh-jauh ke Indonesia hanya untuk membuat laporan.Â
Lantas bagaimana dengan tindakan sekelompok orang bahkan Satpol PP yang selalu menggrebek hotel? Apalah ini salah satu akibat dari pasal perzinaan?Â
Jawabannya tidak! Satpol PP bukan penegak hukum. Jelas apa yang dilakukan adalah salah. Namun yang perlu dicatat adalah setiap daerah memiliki perda terkait ketertiban umum.Â
Dengan modal perda itulah Satpol PP selalu menggrebek hotel. Dengan kata lain mereka sebenarnya menegakkan perda. Selain itu, penulis sendiri tidak setuju dengan cara tersebut karena kata "mengganggu ketertiban umum" jelas tidak terpenuhi bagi siapa saja yang melakukan seks bebas di dalam hotel.Â
SosialisasiÂ
Perlu pembaca ketahui, meski sudah disahkan menjadi undang-undang pada tanggal 6 Desember kemarin, mengacu pada Pasal 624, KUHP baru ini akan berlaku tiga tahun setelah diundangkan.Â
Jadi, KUHP baru ini benar-benar akan berlaku tahun 2025 nanti. Dalam rentang waktu itulah pemerintah harus melakukan sosialisasi kepada masyarakat terutama untuk pasal-pasal seperti ini.Â
Lebih jauh dari itu, penerapan di lapangan juga harus menjadi fokus utama dari pemerintah agar tidak terjadi penyimpangan. Khusus untuk pasal zina, perlu dilakukan sosialisasi lebih jauh terutama bagi para pelaku usaha.Â
Saya hanya heran, mengapa pasal yang menyangkut privasi seperti ini justru lebih mendapat panggung daripada pasal lain yang lebih bermasalah seperti pasal hukum adat dan pasal yang merenggut kebebasan berpendapat.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H