Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Jika Guru Adalah Buruh, Maka Guru Honorer adalah Buruh Kontrak!

25 November 2022   08:54 Diperbarui: 25 November 2022   08:56 789
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kata sejahtera masih jauh bagi para guru honorer: | Sumber: kompas.com

Lagu Guru Oemar Bakrie milik Iwan Fals rasanya masih relevan hingga saat ini. Di dalam lagu itu disebutkan suka duka jadi seorang guru. 

Padahal di tangan guru lahir orang seperti Habibie termasuk para perumus kebijakan di parlemen sana. Tapi gaji bapak Oemar Bakrie seperti dikebiri. 

Jika melihat masa kini, tentu tidak ada perubahan sama sekali. Nasib seorang guru honorer tidak jauh berbeda dengan yang ada di lagu Iwan Fals itu. 

Jika guru diibaratkan seorang buruh, maka guru honorer adalah buruh kontrak. Pekerja kontrak atau dalam dunia kerja disebut PKWT hanya untuk beberapa sektor saja. 

Jika pekerjaan tersebut selesai, maka selesai juga masa kerja buruh kontrak. Lain lagi dengan buruh tetap, ia akan mendapatkan jaminan lebih daripada buruh kontrak. 

Idealnya di dalam regulasi menyebut jika seorang buruh sudah bekerja lebih dari dua tahun maka ia harus menjadi pegawai tetap. Lalu bagaimana dengan guru honorer? 

Jelas tidak demikian. Masa kerja guru honorer jauh lebih lama. Ada yang sampai meninggal ia tetap menjadi seorang guru honorer. Itulah yang terjadi pada Alm. Pak Mochtar, guru Bahasa Indonesia saya saat SMA dulu. 

Akan tetapi, masa kerja guru honorer yang mengabdi selama puluhan tahun tak kunjung mendapatkan kepastian. Untuk mendapatkan gaji tetap saja harus bersaing dengan guru lain. 

Apalagi setelah kebijakan PNS dihapus dan digantikan oleh PPPK, maka nasib guru honorer semakin tak menentu. 

Carut marut PPPK

Setiap tahun, janji manis selalu diumbar oleh pemerintah yakni mengangkat satu juta guru honorer menjadi PPPK. Tapi, janji hanya janji, mereka kini kena ghosting dari pemerintah. 

Proses PPPK yang seharusnya selesai pada 2021 lalu, justru hingga saat ini baru memasuki tahap ketiga. Dihimpun dari kompas, pengajuan formasi dari daerah selalu kurang. 

Di tahun 2021 formasi yang diajukan pemda baru 506.252 guru dari 1.002.612 yang dijanjikan pusat. Jumlah guru PPPK yang dinyatakan lolos dan mendapat formasi sebanyak 293.860 guru, sedangkan yang lulus tapi tidak mendapat formasi sebanyak 193.954 guru

Itu artinya, sebanyak 193 ribu guru yang lolos dan belum mendapat formasi nasibnya tidak jelas. Kebanyakan dari mereka akhirnya dicoret dari sekolah swasta tempat mereka mengajar karena akan ditempatkan di sekolah negeri. 

Namun nasib 193 ribu guru di atas belum pasti dan tidak tahu kapan akan mendapat kejelasan. Inilah yang membuat guru banting setir ke pekerjaan lain seperti ojek online. 

Permasalahan yang selalu berputar terus adalah terkait anggaran untuk menggaji guru tersebut. Alasan pengajuan pemda yang kurang karena kendala anggaran untuk menggaji guru PPPK di atas. 

Padahal di sisi lain Nadiem Makarim menjelaskan jika terkait dana sudah ada di pemerintah pusat yakni sebesar Rp. 25,74 triliun. Di dalamnya termasuk untuk guru PPPK, kesehatan, dan teknis. 

Pada akhirnya guru honorer ini menjadi korban dari kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang tidak sejalan. Belum lagi manajemen penerimaan PPPK yang tak berjalan dengan baik. 

Lamanya mengabdi di suatu sekolah tak menjadi jaminan seorang guru akan mendapatkan kehidupan yang lebih sejahtera. Padahal tanpa seorang guru pendidikan di Indonesia tak akan berjalan dengan baik. 

Guru adalah instrumen pendidikan. Para guru ini yang menjalankan kebijakan pendidikan di lapangan. Seharusnya ada kontrak tersendiri antara guru dan negara layaknya seorang buruh dengan pengusaha. 

Selama ini pemerintah getol membuat regulasi gaji minimum untuk para buruh untuk menjadi patokan perusahaan dalam menggaji buruh. Tapi, bagaimana dengan pemerintah sendiri? 

Apakah hal yang sama juga dilakukan pada guru? Padahal di dalam Pasal 14 UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyebutkan penghasilan seorang guru harus di atas kebutuhan hidup minimum dan mendapat jaminan sosial. 

Jika melihat rumusan pasal di atas, jelas pemerintah telah melanggar kontraknya sendiri yakni tak menjalankan amanat yang tercantum dalam regulasi di atas. 

Belum lagi dalam beberapa waktu silam sempat muncul jika tunjangan profesi guru dalam UU Sisdiknas akan dihapus. Jelas hak-hak guru untuk hidup sejahtera telah dikebiri oleh pemerintah sendiri.

Nasib guru honorer amat prihatin. Gaji yang didapat dalam satu bulan kurang dari Rp.  1 juta. Bahkan ada yang digaji Rp. 300 ribu sebulan. Itu sebabnya para guru honorer harus bekerja ekstra dengan mengajar lebih dari satu sekolah. 

Mereka juga harus nyambi pekerjaan lain untuk tetap bertahan hidup. Itulah kondisi guru honorer saat ini. Mereka bak buruh kontrak yang tak mendapat kepastian akan nasibnya sendiri. 

Masih adakah yang ingin menjadi guru? 

Jika dahulu, pekerjaan favorit adalah guru, dokter, polisi, dan TNI. Di masa kini masih adakah yang ingin menjadi seorang guru jika melihat kondisi sekarang? 

Saat ini para Gen Z justru lebih tertarik menjadi seorang pengusaha daripada menjadi seorang PNS (tentu guru di dalamnya). Hal itu karena mereka melihat realita yang terjadi terutama untuk para guru. 

Kehidupan guru yang jauh dari kata sejahtera membuat pekerjaan ini begitu mulia. Saya hanya berpikir, jika kata sejahtera masih jauh dari seorag guru, lantas masih adakah yang ingin menjadi guru? 

Lama-lama bisa jadi para generasi yang akan datang makin enggan menjadi guru. Faktanya anak-anak saat ini lebih tertarik di industri kreatif termasuk industri game. 

Jika sudah tidak ada yang berminat jadi guru, bagaimana nasib pendidikan kita? Padahal pendidikan adalah investasi jangka panjang bagi sebuah negara. Jika pendidikan di suatu negara baik, maka negara tersebut sudah bisa dipastikan akan maju. 

Hal itu karena SDM yang dimiliki oleh suaru negara bisa bersaing. Lantas siapa yang membentuk SDM itu? Tak lain adalah guru. Untuk itu, pekerjaan satu ini harus lebih diutamakan lagi. 

Tanpa seorang guru kebijakan pendidikan hanya di atas kertas saja. Hal itu karena guru adalah pelaksana dari kebijakan itu sendiri. 

Setiap tahun kita selalu memperingati Hari Guru. Dan setiap tahunnya tuntutan para guru selalu sama yakni kesejahteraan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun