Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Mampukah Food Estate Hadapi Ancaman Krisis Pangan?

19 November 2022   07:29 Diperbarui: 21 November 2022   15:13 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanggal 15 November menjadi tonggak bersejarah  dalam peradaban umat manusia. Pasalnya untuk pertama kalinya jumlah manusia yang hidup di bumi mencapai 8 miliar jiwa. 

Pada tahun 2011, populasi manusia di bumi mencapai 7 miliar. Artinya dalam waktu kurang lebih satu dekade 1 miliar manusia lahir ke dunia. 

Tentu dengan bertambahnya jumlah penduduk akan memunculkan masalah lain, utamanya konsumsi sumber daya alam berlebih. Seperti yang kita ketahui, jika jumlah penduduk semakin banyak, maka konsumsi sumber daya alam semakin besar. 

Masalah utamanya adalah ketersediaan sumber daya alam tidak sebanding dengan pertumbuhan penduduk dunia. Tentu sumber daya tersebut mencakup banyak aspek seperti energi hingga pangan. 

Sehingga tantangan yang akan dihadapi di masa depan bukan hanya krisis ekonomi, enegeri, tapi lebih jauh dari itu krisis pangan. Tanpa pangan yang cukup tentu kehidupan manusia akan punah. 

Apalagi kondisi saat ini seperti perang Rusia dan Ukraina turut serta dalam krisis pangan terutama gandum. Bahkan sejumlah menteri Jokowi memakai ragam istilah untuk menyebut krisi pangan. 

Menteri Keuangan RI Sri Mulyani menyebut ancaman resesi 'bukan kaleng-kaleng.' Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Pandjaitan memilih diksi 'perfect storm', sementara Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutnya 'krisis 5C.'

Hal itu diperkuat oleh Food Argiculture Organization (FAO) yang menyebut hingga akhir tahun 2022 970 ribu orang terancam kelaparan yaitu Afghanistan, Ethiopia, Somalia, Sudan Selatan, dan Yaman.

Masih dalam laporan FAO, diprediksi pada tahun 2050 jumlah penduduk bumi akan mencapai 10 miliar. Tentu dengan jumlah itu maka kebutuhan pangan juga semakin besar. 

Tentu ancaman itu menjadi warning bagi kita agar tidak mengalami hal serupa di masa depan. Untuk itu ketahanan pangan harus menjadi prioritas pemerintah karena menyangkut kelangsungan hidup masyarakat. 

Food Estate

Dalam pertemuan G20 yang berlangsung di Bali kemarin, masalah pangan menjadi salah satu topik bahasan yang tak bisa disepelekan. Hal itu karena pangan tak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. 

Pada acara itu juga, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto memaparkan jika singkong bisa menjadi penyelamat dari krisis pangan yang akan dihadapi nanti. 

Video yang beredar di media sosial menunjukkan Prabowo memamerkan beberapa produk olahan singkong, salah satunya dalam bentuk mie instan berbagai rasa. 

Namun apa yang disampaikan Prabowo menurut ahli sulit direalisasikan. Singkong telah dibudidayakan sejak zaman dulu tapi tidak mampu menggeser empat bahan pokok seperti beras, gandum, jagung, dan kentang. 

Singkong sendiri umumnya menjadi bahan olahan industri yang ujungnya menjadi bahan baku mie. Selain itu, alasan lainnya adalah masa tanam singkong cukup lama dibanding empat bahan pokok di atas. 

Untuk sekali panen, rata-rata singkong membutuhkan waktu sekitar 8-12 bulan. Sementara kentang dalam waktu yang sama bisa 2-3 panen. Apa yang disampaikan Prabowo di forum G20 tak lain adalah food estate yang digaungkan oleh pemerintah. 

Food estate merupakan salah satu objek vital nasional yang dicanangkan untuk mengantisipasi ancaman krisis pangan. Food estate disebut-sebut akan meningkatkan ketahanan pangan Indonesia. 

Food estate merupakan salah satu proyek yang masuk ke dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) tahun 2019-2024. Untuk mendukung itu pemerintah mengucurkan dana dari APBN sebesar 104 triliun. 

Salah satu kawasan yang menjadi objek food estate adalah Kalimantan Tengah. Nantinya sebanyak 30 ribu hektare lahan akan ditanami singkong yang disebut-sebut akan menjadi solusi menghadapi krisis pangan. 

Nyatanya pembangunan food estate penuh dengan kontroversi. Mulai dari regulasi, hingga pembangunanya yang cenderung antroposentris tanpa memerhatikan dampak lingkungan. 

Selain itu, pelibatan Kementerian Pertahanan juga menjadi sorotan. Pasalnya menurut hemat pribadi tak ada kolerasi antara Kemenhan dengan urusan pangan. Akan tetapi, proyek ini dilabeli sebagai objek vital nasional sehingga Kemenhan bisa masuk. 

Kontroversi 

Tentu untuk mewujudkan cita-cita di atas ada beberapa hal yang harus dibenahi, terutama lahan yang akan ditanami. Seperti yang diketahui, Kalimantan merupakan paru-paru dunia yang tentu menyuplai asupan oksigen. 

Jika melihat dari fungsi hutan tersebut, maka rasanya tidak mungkin untuk beralih fungsi menjadi perkebunan singkong. Akan tetapi, pemerintah justru mengeluarkan regulasi untuk mempermudah proyek tersebut. 

Salah satu regulasi tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2021 tentang Kemudahan Proyek Strategis Nasional (PSN). PP ini adalah aturan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja. 

Seperti yang diketahui, kemunculan undang-undang sapu jagat ini tak lain untuk mempermudah perijinan. Sejurus dengan itu, kemudian muncul regulasi lain yang diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mendukung program food estate. 

Salah satu kawasan hutan di Kalimantan Tengah. | Sumber: Greenspace
Salah satu kawasan hutan di Kalimantan Tengah. | Sumber: Greenspace

Regulasi tersebut adalah Peraturan Menteri Linkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 24 Tahun 2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan Untuk Pembangunan Food Estate. 

Menurut Greenspace, jika program ini terus dilanjutkan bukan tidak mungkin sebanyak 3 juta hektare hutan akan habis. Tentu hal itu sangat kontradiksi dengan upaya pemerintah yang getol mengampanyekan krisis iklim. 

Apa yang dilakukan oleh pemerintah hanya akan memperparah kondisi iklim dan terus melanggengkan deforestasi hutan. Nyatanya program tersebut justru gagal dan terbengkalai. Salah satunya di kawasan Gunung Mas Kalimantan Tengah.


Lahan yang tadinya akan menjadi lumbung pangan justru berakhir tragis. Bahkan pohon singkong yang disebut akan menjadi penyelamat krisis pangan itu enggan tumbuh. 

Selain itu, hal yang perlu diperhatikan adalah dampak lingkungan. Sejak 2021 lalu, 8 kawasan di Kalimantan Tengah terendam banjir. Hal itu karena kawasan lahan gambut yang seharusnya menjadi serapan air justru beralih menjadi kebun singkong. 

Itu sebabnya pembangunan food estate ini sangat antroposentris. Artinya hanya mementingkan kepentingan manusia tanpa melihat dampak lingkungan yang akan terjadi. Seharusnya pembangunan tersebut memerhatikan aspek ekologis. 

Hal itu karena jika memposisikan manusia dala rantai tertinggi, bukan tidak mungkin akan berdampak pada keberlangsungan lingkungan itu sendiri. Sehingga keadilan ekologis tak terpenuhi. 

Keadilan lingkungan tidak hanya berbicara hari ini. Tapi untuk generasi yang akan datang. Jika food estate yang tadinya akan menjadi ketahanan pangan justru hanya memperparah krisis iklim, lalu bagaimana dengan generasi yang akan datang? 

Apa yang akan dilakukan generasi tersebut untuk mengatasi masalah yang terjadi hari ini? Lantas, apakah benar food estate akan menjadi solusi atas krisis pangan atau hanya menimbulkan masalah baru? Entahlah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun