Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Mahalnya Ongkos Kemanusiaan Piala Dunia Qatar 2022

22 November 2022   10:28 Diperbarui: 22 November 2022   10:45 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk pertama kalinya gelaran sepak bola terbesar sejagat yakni Piala Dunia digelar di Jazirah Arab lebih tepatnya di Qatar. Piala Dunia Qatar sendiri dimulai dari tanggal 20 November hingga 18 Desember 2022.

Terpilihnya Qatar sebagai tuan rumah membuat negara tersebut bersolek menyambut kemeriahan Piala Dunia. Beberapa stadion telah dibangun untuk pertandingan nanti. 

Selain itu, ada satu hal yang unik dalam pembangunan stadion tersebut. Stadion yang menjadi venue Piala Dunia dipasang AC. Tentu hal itu tak terlepas untuk mengakali cuaca panas di Qatar. 

Itu sebabnya Piala Dunia kali ini digelar akhir tahun karena negara tersebut sudah memasuki musim dingin. Meski musim dingin, rata-rata suhu di Qatar mencapai 24 derajat celcius sehingga Qatar terus berinovasi, salah satunya semua stadion Piala Dunia dipasang AC raksasa. 

Alhasil kondisi di dalam stadion akan sejuk. Tentu ini menjadi inovasi baru bagi dunia olahraga karena tak sedikit cuaca bisa memengaruhi pertandingan. 

Meski begitu, terpilihnya Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022 tidak lepas dari kontroversi. Tahun 2010 lalu, Qatar berhasil menyingkirkan Amerika, Jepang, hingga Korea Selatan yang mana negara tersebut pernah menjadi tuan rumah.

Mantan presiden AFC yakni Mohamed Bin Hammam diduga menjadi dalang suap. Ia membagi-bagikan uang pada petinggi FIFA agar memilih Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022.

Mantan Presiden FIFA, Sepp Blatter mengaku menyesal telah memilih Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022. Blatter menyebut saat itu sebenarnya FIFA akan menunjuk Amerika Serikat dengan dalih perdamaian karena Rusia menjadi tuan rumah edisi 2018.

"Memilih Qatar adalah sebuah kesalahan. Pada saat itu, kami Komite Eksekutif FIFA sebenarnya sepakat bahwa Rusia harus mendapatkan Piala Dunia 2018. Setelah itu, Amerika Serikat menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022. Itu akan menjadi isyarat perdamaian jika dua lawan politik lama menjadi tuan rumah Piala Dunia secara bergantian," (kompas.com)

Menurut Blatter, Qatar terlalu kecil dan Piala Dunia terlalu besar untuk Qatar. Blatter mengaku bahwa ia bertanggung jawab atas pemilihan Qatar sebagai tuan rumah karena saat itu ia menjabat Presiden FIFA. 

Selain kental dengan aroma suap, dalam perkembangannya pembangunan infrastruktur yang mewah tersebut menelan banyak korban. Ribuan buruh meninggal dunia imbas pembangunan infrastruktur Piala Dunia itu. 

Mahalnya ongkos kemanusiaan

Dalam menyambut Piala Dunia 2022, Qatar membangun tujuh stadion baru, satu bandar udara baru, jaringan kereta dan sejumlah ruas jalan baru. 

Tentu untuk membangun fasilitas mewah itu membutuhkan ribuan pekerja. Tak kurang sekitar 30 ribu pekerja migran dikerahkan oleh Qatar untuk membangun infrastruktur Piala Dunia.

Dalam perjalanannya, pembangunan itu justru merenggut ribuan nyawa buruh migran. Laporan itu pertama kali dirilis oleh The Guardian pada tahun 2013 lalu. 

Hal itu terdapat dalam temuan International Trade Union Confederation (ITUC) setidaknya ada 4 ribu orang yang meninggal akibat pembangunan fasilitas Piala Dunia 2022.

Masih dalam laporan ITUC, pada saat itu tak kurang Qatar menambah jumlah buruh migran hingga 500 ribu jiwa yang berasal dari India, Nepal, dan Sri Lanka untuk menyelesaikan sejumlah infrastruktur seperti stadion dan hotel tepat waktu. 

ITUC menyebut rata-rata junlah kematian buruh migran mencapai 600 orang atau 12 orang dalam satu minggu. Yang menjadi persoalan adalah apa penyebab buruh tersebut meninggal? Apakah murni karena pengerjaan proyek tersebut atau bukan? 

Dari korban yang berjatuhan, kebanyakan yang meninggal karena sebab alamiah. Biasanya mengarah pada penyakit gagal jantung. Tapi hal itu justru kontradiksi karena pegawai migran Qatar harus melewati uji kesehatan yang ketat. 

Pada tahun 2019, The Guardian menyorot kolerasi kematian buruh migran dengan cuaca esktrem di Qatar. Pada musim panas suhu di Qatar bisa mencapai 45 derajat celcius. 

Oleh sebab itu, di sana terdapat regulasi yang melarang bekerja di bawah terik sinar matahari secara langsung karena akan beresiko tinggi pada kesehatan pekerja. Tapi, dalam temuan The Guardian masih ditemukan pelanggaran. 

Para pekerja harus bekerja di luar ketentuan sehingga terkena panas ekstrem. Suhu tinggi diketahui menimbulkan tekanan hebat pada sistem kardiovaskular manusia, yang bisa mengarah pada serangan jantung fatal atau gangguan jantung lainnya.

Masalah lainnya adalah terkiat otopsi. Di Qatar aturan otopsi cukup ketat hanya untuk tindak kejahatan atau almarhum memiliki riwayat sakit. Otopsi juga harus dilakukan atas ijin dari keluarga. 

Di sisi lain, pemerintah Qatar tentu tidak tinggal diam dengan kejadian ini. Mereka mengadakan perjanjian internasional dengan ILO pada tahun 2017 lalu. 

Satu tahun berselang, Amnesty Internasional melalukan evaluasi. Hasilnya masih terdapat beberapa pelanggaran. Misalnya masih ada kontraktor yang melanggar ketentuan jam kerja. 

Perbudakan moderen

Salah satu hal yang paling disoroti adalah sistem kafala yang dinilai sebagai perbudakan moderen. Sistem ini mewajibkan buruh tak terlatih untuk memiliki sponsor yang bertanggung jawab atas visa serta status hukum si buruh selama berada di negara tujuan.

Oleh karena itu, pekerja yang terikat dengan sistem ini hanya memiliki akibat hukum dengan sponsor atau pemberi kerja saja selama perjanjian kerja. 

Karena terikat kontrak dengan majikan, pekerja umumnya sulit untuk masuk ke dalam huk negara, pindah kerja, atau meninggalkan negara tanpa seizin pemberi kerja. Itu sebabnya lazimnya pasport para pekerja selalu ditahan. 

Dengan kondisi demikian, tentu ada kesenjangan antara pekerja dan majikan. Di situlah eksploitasi rawan dilakukan untuk beberapa sektor pekerjaan. 

Itu sebabnya banyak aktivis HAM yang mengkritik sistem ini karena dinilai melanggengkan perbudakan. Hal itu juga membuat majikan kebal akan hukum karena negara sulit masuk di dalamnya. 

Meski menjadi catatan tersendiri karena jadi negara jazirah Arab pertama yang menjadi tuan rumah Piala Dunia, akan tetapi dalam perjalanannya Qatar penuh dengan kontroversi. 

Bahkan dengan hadirnya BTS dinilai hanya sebagai bungkus bahwa Qatar ramah dengan kemanusiaan. Apalagi BTS begitu aktif dalam kemanusiaan sehingga mereka hanya dipakai untuk memperbaiki citra Qatar saja. 

Di balik mewahnya Piala Dunia Qatar kali ini, ada biaya mahal yang harus dibayar, yakni kemanusiaan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun