Masalah lainnya adalah terkiat otopsi. Di Qatar aturan otopsi cukup ketat hanya untuk tindak kejahatan atau almarhum memiliki riwayat sakit. Otopsi juga harus dilakukan atas ijin dari keluarga.Â
Di sisi lain, pemerintah Qatar tentu tidak tinggal diam dengan kejadian ini. Mereka mengadakan perjanjian internasional dengan ILO pada tahun 2017 lalu.Â
Satu tahun berselang, Amnesty Internasional melalukan evaluasi. Hasilnya masih terdapat beberapa pelanggaran. Misalnya masih ada kontraktor yang melanggar ketentuan jam kerja.Â
Perbudakan moderen
Salah satu hal yang paling disoroti adalah sistem kafala yang dinilai sebagai perbudakan moderen. Sistem ini mewajibkan buruh tak terlatih untuk memiliki sponsor yang bertanggung jawab atas visa serta status hukum si buruh selama berada di negara tujuan.
Oleh karena itu, pekerja yang terikat dengan sistem ini hanya memiliki akibat hukum dengan sponsor atau pemberi kerja saja selama perjanjian kerja.Â
Karena terikat kontrak dengan majikan, pekerja umumnya sulit untuk masuk ke dalam huk negara, pindah kerja, atau meninggalkan negara tanpa seizin pemberi kerja. Itu sebabnya lazimnya pasport para pekerja selalu ditahan.Â
Dengan kondisi demikian, tentu ada kesenjangan antara pekerja dan majikan. Di situlah eksploitasi rawan dilakukan untuk beberapa sektor pekerjaan.Â
Itu sebabnya banyak aktivis HAM yang mengkritik sistem ini karena dinilai melanggengkan perbudakan. Hal itu juga membuat majikan kebal akan hukum karena negara sulit masuk di dalamnya.Â
Meski menjadi catatan tersendiri karena jadi negara jazirah Arab pertama yang menjadi tuan rumah Piala Dunia, akan tetapi dalam perjalanannya Qatar penuh dengan kontroversi.Â
Bahkan dengan hadirnya BTS dinilai hanya sebagai bungkus bahwa Qatar ramah dengan kemanusiaan. Apalagi BTS begitu aktif dalam kemanusiaan sehingga mereka hanya dipakai untuk memperbaiki citra Qatar saja.Â
Di balik mewahnya Piala Dunia Qatar kali ini, ada biaya mahal yang harus dibayar, yakni kemanusiaan.Â