Jadi, jika melihat aturan di atas memang benar untuk kualitas mutu adalah tanggung jawab industri farmasi. Akan tetapi untuk pengawasan sebelum dan sesudah obat itu beredar ada di tangan BPOM.
Jadi, sebelum obat beredar ke masyarakat BPOM harus memastikan apakah obat dan makanan itu sudah sesuai dengan standar dan persyaratan, khasiat/manfaat, dan mutu produk yang ditetapkan. Hal ini terlihat jelas dalam Pasal 3 ayat 2 PP No. 80 Tahun 2017 tentang BPOM.
Jadi, saya kira tidak tepat jika BPOM hanya membebankan tanggung jawab kualitas mutu pada industri farmasi. Toh sebelum beredar juga BPOM memiliki tugas untuk menjamin khasiat dan manfaat obat.
Jika sudah terjamin, maka ijin edar pun didapat oleh industri farmasi. Jadi, jika melihat ketentuan yang ada apa yang disampaikan oleh Elin tidak secara utuh.Â
Dengan demikian BPOM juga memiliki tanggung jawab sebelum obat itu beredar guna mencegah hal yang tidak diinginkan. Itu sebabnya menurut saya BPOM kecolongan dalam hal ini.
Selain sebelum beredar, selama beredar juga BPOM juga bertugas mengawasi dan memastikan apakah obat dan makanan sudah sesuai standar atau belum.
Dengan kata lain, baik sebelum dan selama peredaran obat BPOM teledor. Sebelum obat beredar BPOM harus menjamin apakah obat sudah memenuhi standar yang ditetapkan BPOM atau tidak dalam hal ini adalah ambang batas EG dan DEG pada obat sirup.
Kemudian selama beredar BPOM juga harus memastikan dan bertanggung jawab dengan keputusan pengawasan sebelum obat beredar. Bagi saya, kedua tugas itu tidak berjalan dengan baik.
Jadi, BPOM juga ikut bertanggung jawab atas kasus ini karena di tangan mereka lah ijin obat itu keluar. Untuk itu, perihal ijin jangan hanya sebatas dokumen administrasi saja yang terpenuhi, tapi standar klinis dan pengujian juga harus dipertimbangkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H