Sejak kasus Brigadir Yoshua Nofiansyah Hutabarat alias Brigadir J mencuat, nama Putri Candrawathi menjadi perhatian publik usai beberapa kali bungkam.
Putri akhirnya muncul ke publik. Namun, ia membawa narasi bahwa Alm Brigadir J telah melecehkan dirinya.
Berawal dari ini, Putri mengajukan perlindungan pada LPSK karena merasa korban. Dalam perkembangannya, LPSK menolak permohonan Putri karena dinilai janggal.
Tidak hanya itu, Putri mengajukan upaya lain yakni melaporkan kejadian pelecehan tersebut ke kepolisian. Lagi-lagi usaha Putri kandas di tahap penyelidikan karena penyidik tidak menemukan peristiwa pidana.
Dengan demikian, laporan putri disetop dan tidak bisa dilanjutkan ke tahap penyidikan. Tidak berselang lama, Putri akhirnya ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik.
Ia dijerat dengan Pasal 338 subsider 340 Jo. Pasal 55 dan 56 KUHP. Pasal yang sama yang menjerat suaminya Irjen Ferdy Sambo, Ricky Rizal, dan Kuwat Ma'ruf.
Putri terancam pidana mati, penjara seumur hidup, atau penjara paling lama dua puluh tahun.
Akan tetapi, meski telah ditetapkan sebagai tersangka, Putri Candrawathi seakan-akan diperlakukan istimewa. Ia tidak ditahan sampai artikel ini dibuat. Putri hanya dikenakan wajib lapor dua kali seminggu oleh penyidik.
Selain itu, dalam rekonstruksi kemarin Putri juga tidak memakai baju oranye seperti tersangka lain. Tentu perlakuan berbeda itu menjadi pertanyaan publik.
Perihal penahanan
Penahanan pada prinsipnya melanggar hak asasi seseorang karena membatasi ruang gerak. Dengan kata lain, ada dua asas yang bertentangan dalam penahanan.
Asas pertama yaitu membatasi ruang gerak manusia yang merupakan bagian dari hak asasi manusia yang harus dihormati. Di sisi lain, ada kepentingan umum yang harus dijaga untuk memberi kenyamanan bagi masyarakat.
Di sinilah letak istimewanya hukum pidana. Ia memiliki ketentuan yang bisa mengesampingkan asas-asas yang diakui secara universal di seluruh dunia.
Dasar hukum penahanan sendiri terdapat dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Di dalam pasal tersebut dijelaskan, untuk kepentingan penyidikan maka penyidik berhak melakukan penahanan. Begitu juga dengan penuntut umum dan hakim berhak menahan terdakwa untuk kepentingan penuntutan dan pemeriksaan.
Lantas, mengapa seseorang perlu ditahan? Di dalam Pasal 21 ayat 1 KUHAP dijelaskan alasan penahanan. Dalam pasal itu dijelaskan dikhawatirkan jika tersangka melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana.Â
Itulah alasan mengapa seorang tersangka perlu ditahan. Lantas, apakah semua tindak pidana harus ditahan? Di dalam Pasal 21 ayat 4 menyebut tindak pidana yang ancaman pidananya 5 tahun maka wajib ditahan.
Secara normatif, maka seharusnya Putri Candrawathi telah memenuhi semua unsur itu. Putri dijerat dengan Pasal 338 subsider 340 tentang pembunuhan berencana.
Ancaman pidana tersebut amat berat yakni pidana mati. Akan tetapi, selama artikel ini ditulis Putri Candrawathi masih belum ditahan oleh penyidik dengan alasan kemanusiaan.
Merunut pada Pasal 31 ayat 1, KUHAP memang memberi ruang bagi tersangka untuk mengajukan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau orang.
Jadi, memang secara normatif apa yang didapat oleh Putri memang sudah sesuai dengan regulasi yang ada. Begitu juga dengan penyidik, penyidik memiliki kewenangan untuk menerima atau menolak hal tersebut.
Jika menerima, tentu ada alasan subjektif mengapa penyidik menerimanya. Alasan subjektif tentu tidak diatur secara rinci apa saja hal-hal yang bisa menangguhkan penahanan.
Hal ini sama seperti hakim saat menentukan hal yang meringankan seperti sopan, masih muda, dan lain-lain. Itu semua subjektif hakim dan kita harus menghargainya.
Namun, alasan Putri tidak ditahan mungkin mengundang tanda tanya, yaitu demi kemanusiaan. Tentu alasan kemanusiaan sendiri sudah dijelaskan di atas.
KUHAP sendiri memiliki keistimewaan untuk mengesampingkan asas-asas yang berlaku secara universal. Padahal dalam konteks ini menyangkut kepentingan yang lebih besar yaitu memberi ketertiban di masyarakat.
Tentu asas inilah yang harus dipertimbangkan penyidik untuk menahan Putri. Di sisi lain, jika berbicara kemanusiaan kasus Putri bukan yang pertama kali.
Sudah sering kita dengar seorang ibu ditahan di penjara bersama dengan balita. Begitu juga ketika seorang anggota DPR menjadi tersangka, ia tetap ditahan.
Maka, alasan kemanusiaan itu sendiri seperti tebang pilih. Banyak kondisi yang serupa dengan Putri justru mendapat perlakuan yang berbeda. Inilah yang membuat masyarakat menjadi geram.
Selain asas kepentingan umum, penyidik seharusnya mempertimbangkan asas keadilan. Tentu perlakuan istimewa terhadap Putri sangat mencederai rasa keadilan masyarakat.
Hal itu karena keadilan tidak bisa dipisahkan dari hukum. Tujuan hukum sendiri tidak lain untuk menciptakan keadilan.
Jika penyidik masih tidak mampu menegakkan asas keadilan ini, setidaknya penyidik harus menerapkan asas equality before the law. Semua orang sama di mata hukum.
Entah dia itu istri jenderal, rakyat biasa, anggota DPR harus diperlakukan sama di mata hukum. Kesetaraan inilah yang harus ditegakkan oleh penyidik.Â
Meski secara normatif, penangguhan penahanan yang didapat oleh Putri benar, akan tetapi jika ditinjau dari sisi kepentingan umum, kesetaran, dan keadilan jelas tidak.
Hukum tidak hanya berbicara soal aturan, lebih jauh dari itu berbicara soal keadilan dan kepentingan umum yang sedikit sulit didapat dalam kasus ini.
Toh jika memang Putri harus mendapat penangguhan, sebaiknya penyidik ditahan di rumah, alias menjadi tahanan rumah. Toh dengan begitu ia bisa tetap dengan anaknya yang masih balita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H