Sederhananya quiet quitting adalah bekerja sesuai standar, sesuai dengan job desc, jam kerja, dan gaji yang telah disepakati. Quiet quitting juga menolak kerja tambahan di luar job desc tanpa bayaran. Intinya ya bekerja sesuai porsi, seadanya.Â
Seseorang yang bekerja dengan gaya tersebut tetap bekerja sesuai waktu. Mengerjakan tugas di kantor dan menolak menerima pekerjaan di luar jam kerja.Â
Pekerjaan bukan lagi dipandang sebagai hal istimewa seperti workaholic atau dalam hustle culture. Tidak ada yang tahu fenomena ini muncul sejak kapan.
Akan tetapi fenomena ini muncul sejak pandemi covid-19 terutama setelah diterapkan bekerja di rumah alias WFH.
Selama pandemi juga banyak pekerja yang tidak mendapat kompensasi lebih dari hasil kerja ekstra. Itu sebabnya banyak yang menyebut jika ingin gen z bekerja ekstra maka harus ada kompensasi yang sesuai dengan apa yang dikerjakan.
Dalam artikel New York Post, fenomena ini sebetulnya datang dari China pada tahun 2021 yang disebut lying flat atau tang ping, yaitu fenomena gelombang pekerja muda yang memberontak terhadap konsep jam kerja yang panjang dan sulit di China.
Di China dikenal dengan pola kerja 996. Pola kerja tersebut mengharuskan pekerja bekerja selama 12 jam sehari dalam satu minggu kerja. Misalnya masuk kerja pukul 09.00 pagi maka pulang kerja pukul 21.00 malam.
Gaya bekerja seperti itu membuat seorang pekerja stress alias burnout. Bahkan tidak jarang pekerja di China berakhir dengan bunuh diri karena pola kerja tersebut.
Di sisi lain, quiet quitting adalah cara gen z untuk terhindar dari burnout dan menciptakan work life ballance yang ideal, sekaligus mencari batasan antara diri sendiri sebagai manusia dan pekerja.
Dampak quiet quitting
Gaya kerja di atas tentu amat tidak disukai oleh para bos yang menuntut kerja ekstra alias multitasking. Di sisi lain, banyak yang beranggapan jika quiet quitting akan menurunkan produktivitas kerja.