Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Diperintah Atasan Tembak Brigadir J, Bisakah Bharada E Bebas?

9 Agustus 2022   04:47 Diperbarui: 10 Agustus 2022   06:06 851
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasus kematian Brigadir Yoshua alias Brigadir J mulai menemukan titik temu. Hal itu terjadi setelah Bharada E mulai "bernyanyi" terkait kejadian yang sebenarnya.

Menurut pengacara Bharada E, yakni Deolipa Yumara, kliennya telah blak-blakan dalam memberikan keterangan. Bharada E bahkan mengungkap sejumlah nama yang terlibat dalam kasus ini.

Di sisi lain, Bharada E ternyata disuruh atasannya untuk menembak Brigadir J hingga tewas. Selain itu, atasannya pun menyuruh Bharada E untuk membuat skenario palsu terkait kematian Brigadir J.

Dari pengakuan tersebut, maka kejadian saling tembak tidak terjadi. Begitu juga dengan dugaan Brigadir J yang berusaha melecehkan istri Ferdy Sambo.

Kemudian timbul satu pertanyaan, Bharada E dijerat dengan Pasal 338 jo Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP. Pasal 55 dan 56 mengatur tentang penyertaan.

Namun, tentu saja Bharada E melakukan tindakan tersebut (menembak Brigadir J) bisa jadi bukan atas keinginan sendiri, tapi diperintahkan oleh atasan.

Jika benar tidak ada niatan dari Bharada E untuk membunuh Brigadir J, lantas apakah Bharada E bisa bebas? Dalam artikel ini di sini penulis akan mengupas sedikit kemungkinan tersebut.

Di dalam hukum pidana, ada dua alasan yang bisa menghapus atau menghilangkan pidana. Dua alasan tersebut adalah alasan pemaaf dan alasan pembenar.

Alasan pemaaf

Alasan pemaaf adalah alasan yang menghapus "kesalahan" dalam tindak pidana. Kesalahan amat penting dalam hukum pidana. Seseorang tidak bisa dipidana tanpa adanya kesalahan pada dirinya.

Artinya, agar seseorang bisa dipidana maka harus ada unsur "kesalahan" dalam diri pelaku. Lalu, apakah kesalahan itu?

Mengutip pendapat S.R Siantuiri dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana dan Penerapannya di Indonesia, setidaknya ada tiga unsur mengenai kesalahan.

Pertama adalah mampu bertanggung jawab. Kemampuan tanggung jawab ini bisa dilihat dari kondisi kejiwaan dan usia. Seseorang yang gila atau jiwanya terganggu tidak bisa memenuhi unsur ini. 

Kedua adanya kesengajaan atau kealpaan. Terkait dengan ini, kesengajaan sering disamakan dengan adanya niat atau kehendak. Jadi, sengaja di sini adalah pelaku tidak hanya menghendaki, tetapi pelaku juga tahu tindakannya dilarang.

Itu sebabnya pertanggung jawaban pidana selalu dikaitkan dengan kondisi jiwa dan usia. Hal itu karena seseorang yang jiwanya sehat dan dewasa tahu jika suatu tindak pidana dilarang. Meski dalam teori ada yang menyebut jika pelaku kejahatan memiliki gangguan jiwa.

Kemudian apa yang menghapuskan kesalahan tersebut? Ialah alasan pemaaf yang terapat dalam Pasal 44 KUHP. 

Intinya jika seseorang tidak sehat jiwanya maka unsur kesalahan hilang padanya karena tidak bisa mempertanggung jawabkan perbuatannya.

Nah, tentu penerapan Pasal 44 ini tidak belaku pada Bharada E karena ia dewasa dan jiwanya sehat.

Alasan pembenar

Alasan pembenar adalah alasan yang menghapus sifat melawan hukum. Terdapat tiga pasal dalam KUHP yang mengatur tentang ini. Di antaranya Pasal 48, 49, dan 51.

Pasal 48 berbunyi:

Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.

Daya paksa dibedakan menjadi tiga yaitu daya paksa absolute, relatif, dan karena keadaan pilihan.

Daya paksa absolute dalam hal ini pelaku tidak memiliki pilihan lain selain bertindak. Daya paksa absolute berupa paksaan jasmaniah atau karena jiwa.

Misalnya seseorang yang dipegang tangannya untuk dipaksa mendandatangani sesuatu. Tentu kondisi itu tidak ada pilihan lain selain melakukan tindakan tersebut.

Daya paksa relatif adalah daya paksa di mana seseorang dipaksa memilih salah satu tindakan. 

Misalnya jika seorang atasan menyuruh karyawannya melakukan perbuatan yang melanggar undang-undang, jika tidak maka karyawan tersebut akan dipecat.

Ketiga, karena keadaan darurat. Berbeda dengan keadaan relatif, dalam keadaan darurat ini orang terpaksa itu sendiri yang memilih peristiwa pidana mana yang akan ia lakukan.

Misalnya seorang pemadam kebakaran yang merusak kaca demi menyelamatkan orang lain. Meski merusak kaca masuk ke dalam pidana, tetapi hal itu terpaksa dilakukan demi menyelamatkan orang lain.

Jadi, meski tindakan-tindakan yang dicontohkan di atas secara garis besar melawan hukum, maka karena adanya daya paksa sifat melawan hukum tersebut hilang karena ada alasan pembenar.

Kemudian pasal lain yang mengatur tentang alasan pembenar ialah Pasal 49 dan Pasal 51. 

Pasal 49 sendiri pada intinya mengatur tentang bela diri. Inilah yang dipakai dalam kronologi pertama dalam kasus kematian Brigadir J.

Dalam kronologi tersebut, Bharada E mengaku jika perbuatan menembak itu karena bela diri. Hal itu karena Brigadir J diduga menodongkan senjata pada istri Ferdy Sambo dan berusaha melecehkannya.

Dengan dalih bela diri inilah skenario ini dibuat. Akan tetapi perlu digarisbawahi bela diri dibenarkan jika ada ancaman yang mengganggu harta atau kesusliaan diri atau orang lain. 

Jika ancaman itu hilang, maka tidak dibenarkan untuk bela diri karena sudah masuk ke ranah pidana. Contoh, seseorang berusaha melecehkan Anda. Anda berhak bela diri, tapi jika ancaman melecehkan itu hilang maka hal itu dilarang.

Lalu, sebenarnya apa sih tujuan dipakai pasal bela diri ini? Tentu ini akan berdampak pada putusan pengadilan. Jika pengadilan menyebut Bharada E bela diri, maka Bharada E lepas dari tuntutan. 

Mungkin itulah skenario awal yang diinginkan oleh aktor intelektual itu. Tapi, seperti yang kita ketahui, tidak ada satu kejahatan yang sempurna.

Terakhir adalah Pasal 51 KUHP. Pasal 51 berbunyi:

1. Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan penguasa berwenang, tidak dipidana.

2. Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah yang diberikan dengan wewenang, dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.

Sebagai gambaran, saya akan memeberi dua contoh. Seorang atasan menyuruh penyidik untuk menangkap tersangka. Peristiwa penangkapan itu bukanlah pelanggaran hukum karena perbuatan itu merupaka pelaksanaan undang-undang.

Contoh lain adalah seorang eksekutor terpidana mati tidak bisa dijerar pasal pembunuhan karena itu adalah tugasnya yang dilindungi undang-undang.

Lalu, bagaimana dengan Bharada E, ia jelas diperintah oleh atasannya untuk membunuh? Jika melihat ketentuan Pasal 51 maka jelas perbuatan itu salah. Namun, di sini ada relasi kuasa yang membuat Bharada E tertekan untuk menembak.

Jadi, dilihat dari uraian di atas, dua alasan yang menghapuskan pidana itu menurut saya bisa saja terdapat pada Bharada E terutama Pasal 51. Hal itu karena ada tekanan dari atasan untuk melakukan perintah (penembakan).

Mengingat institusi Polri memakai sistem komando. Tentu Bharada E yang pangkatnya di bawah atasannya secara sistem komando tidak bisa ditolak.

Jika Pasal 51 terbukti pada Bharada E, nantinya hakim akan memvonis Bharada E lepas dari tuntuan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun