Mengutip pendapat S.R Siantuiri dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana dan Penerapannya di Indonesia, setidaknya ada tiga unsur mengenai kesalahan.
Pertama adalah mampu bertanggung jawab. Kemampuan tanggung jawab ini bisa dilihat dari kondisi kejiwaan dan usia. Seseorang yang gila atau jiwanya terganggu tidak bisa memenuhi unsur ini.Â
Kedua adanya kesengajaan atau kealpaan. Terkait dengan ini, kesengajaan sering disamakan dengan adanya niat atau kehendak. Jadi, sengaja di sini adalah pelaku tidak hanya menghendaki, tetapi pelaku juga tahu tindakannya dilarang.
Itu sebabnya pertanggung jawaban pidana selalu dikaitkan dengan kondisi jiwa dan usia. Hal itu karena seseorang yang jiwanya sehat dan dewasa tahu jika suatu tindak pidana dilarang. Meski dalam teori ada yang menyebut jika pelaku kejahatan memiliki gangguan jiwa.
Kemudian apa yang menghapuskan kesalahan tersebut? Ialah alasan pemaaf yang terapat dalam Pasal 44 KUHP.Â
Intinya jika seseorang tidak sehat jiwanya maka unsur kesalahan hilang padanya karena tidak bisa mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Nah, tentu penerapan Pasal 44 ini tidak belaku pada Bharada E karena ia dewasa dan jiwanya sehat.
Alasan pembenar
Alasan pembenar adalah alasan yang menghapus sifat melawan hukum. Terdapat tiga pasal dalam KUHP yang mengatur tentang ini. Di antaranya Pasal 48, 49, dan 51.
Pasal 48 berbunyi:
Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.
Daya paksa dibedakan menjadi tiga yaitu daya paksa absolute, relatif, dan karena keadaan pilihan.
Daya paksa absolute dalam hal ini pelaku tidak memiliki pilihan lain selain bertindak. Daya paksa absolute berupa paksaan jasmaniah atau karena jiwa.