Bermula dari konten wawancara di tiktok, seorang remaja bernama Tegar dan Nadia membuat heboh publik karena kepolosan mereka saat diwawancara tentang hubungan asmaranya.
Pasangan lain muncul seperti Roy dan Jeje hingga Bonge dan Kurma. Tidak hanya itu, anak-anak yang nongkrong di kawasan Sudirman tersebut mengenakan pakaian yang nyentrik. Warganet menyebut fenomena tersebut dengan "Citayam Fashion Week".
Tidak ada yang menyangka jika Citayam Fashion Week akan menjadi fenomena tersendiri. Bermula dari remaja-remaja yang nongkrong di kawasan Sudirman dengan gaya nyentrik, lambat laun pesona Citayam Fashion Week menjadi daya tarik tersendiri.
Beberapa anak Citayam mendapat popularitas tinggi dan mendulang cuan dari fenomena tersebut. Di antaranya Roy, Bonge, hingga Jeje yang dinilai mirip dengan Fuji oleh warganet.
Kesuksesan Roy CS rupanya mengundang anak-anak lain melakukan hal yang sama dengan harapan nasib mereka seperti Roy CS. Tak lupa mereka pun mengenakan outfit yang menarik.
Layaknya seorang model, anak-anak tersebut berlenggak-lenggok di trotoar dengan outfit khasnya. Citayam Fashion Week bahkan mendapat sorotan dari media luar seperti Jepang.
Menurut media tersebut, fenomena tersebut layaknya harajuku di Jepang. Bukan tidak mungkin hal yang sama akan terjadi pada Citayam Fashion Week.Â
Banyak yang mengapresiasi hal tersebut karena setiap orang dalam hal ini kaum menengah ke bawah bebas berekspresi. Siapa pun dengan bebas boleh berekspresi di ruang publik tersebut.
Lambat laun, beberapa pesohor hingga politisi mulai mencuri panggung anak-anak Citayam. Anies Baswedan bahkan mengundang perwakilan Bank Eropa untuk berjalan di kawasan Sudirman itu.
Tak lupa, beberapa selebritis mencoba mencari konten di sana demi kepentingan sendiri. Model top seperti Paula tidak segan melakulan catwalk dan bertemu dengan Bonge CS.
Kini, kesan Citayam Fashion Week sebagai kreasi kelas menengah ke bawah luntur setelah beberapa selebriti, kaum elit, dan politisi mengambil alih.
Perlahan-lahan, Citayam Fashion Week bukan lagi milik kaum-kaum sederhana tapi sudah mulai diambil oleh kaum elit. Padahal anak-anak Citayam yang nongkrong di kawasan Sudirman tersebut sangat menggambarkan kaum marjinal pada umumnya.
Berbekal uang Rp. 25.000 naik MRT dan jajan cilok sudah cukup untuk mereka. Tentunya keadaan itu jauh berbanding terbalik dengan mereka kaum elit ketika nongkrong. Satu gelas kopi harganya bisa lebih mahal dari bekal para remaja tersebut.
Kini, setelah kaum elit mulai mencuri panggung kreasi anak-anak kelas menengah ke bawah tersebut, beberapa pihak justru melakukan hal yang kurang pantas.
Perusahaan besutan Baim Wong yakni PT Tiger Wong Entertaiment baru-baru ini mendaftarkan merek dagang "Citayam Fashion Week" ke Departeman HAKI Jakarta.Â
Permohonan PT Tiger Wong tersebut teregistrasi dengan nomor JID2022052181. Permohonan itu diterima PSDKI Kemenkumham pada 20 Juli 2022.
Ada pun cakupan Citayam Fashion Week meliputi dunia hiburan. Nantinya merek yang didaftarkan Baim Wong itu meliputi layanan penyedia video online yang tak dapat diunduh, organisasi peragaan busana untuk tujuan hiburan, pelaksanaan pameran, peragaan busana, dan pameran kebudayaan untuk tujuan hiburan.
Bagi saya, perbuatan tersebut tidak etis. Pertanyaan mendasarnya adalah siapa yang menginisiasi Citayam Fashion Week? Apakah Baim Wong atau remaja-remaja tersebut?
Jelas yang menginisiasi adalah remaja polos tersebut. Namun segelintir orang justru memanfaatkan potensi ekonomi tersebut untuk kepentingan pribadi.
Bayangkan saja, cakupan merek dagang ini sangat luas termasuk di dalamnya peragaan busana. Jika diterima, anak-anak tersebut tidak akan bisa berlenggak-lenggok lagi di jalan dengan nama Citayam Fashin Week karena sudah dikuasi secara pribadi oleh seseorang.
Dengan kata lain, nantinya kegiatan bebas berekspresi tersebut harus mendapat izin dan tentu Baim Wong akan mendapat royalti di balik kegiatan tersebut.
Bahkan, jika kegiatan tersebut tetap diselenggarakan dengan jenama Citayam Fashion Week tanpa izin bisa dibawa ke ranah pidana karena pelanggaran merek. Tentu sangat miris.
Padahal anak-anak tersebutlah yang mempelopori Citayam Fashion Week. Akan tetapi, kreasi mereka kini dicaplok oleh orang yang tidak beretika dan tega mengeksploitasi hak yang harusnya mereka dapat.
Kini, Citayam Fashion Week akan berakhir bukan lagi karena masalah pro kontra dari warganet. Melainkan Citayam Fashion Week akan berakhir di tangan satu orang yang dengan tega mengambil hak kreasi anak-anak kurang mampu.
Memanfaatkan kreasi orang lain untuk dikuasai oleh pribadi jelas perbuatan pencurian kekayaan intelektual yang sebenarnya. Bagi saya, mencuri ide orang lain untuk dijadikan milik pribadi jelas tak etis.
Ditinjau dari sudut etika, jelas orang yang mendaftarkannya tidak memiliki hak intelektual tersebut karena mereka bukan pencetusnya. Lantas, apakah itu bisa disebut sebagai kekayaan intelektual jika mencuri kreasi orang lain? Jelas tidak etis.
Tidak hanya Baim, salah satu pendaftar yang bernama Indigo juga mendaftarkan Citayam Fashion Week ke Departemen HAKI.
Kaum elit yang memperdaya kaum lemah justru berlomba-lomba untuk mendapat keuntungan pribadi. Kreasi yang lahir dari anak-anak polos justru dikeruk potensi ekonominya oleh orang-orang yang tak beretika.
Tentunya saya pribadi sangat menyangakan dengan kejadian di atas. Baik Baim mau pun Indigo secara tidak langsung tidak menghargai usaha anak-anak polos tersebut.
Apalagi merek yang diambil berasal dari nama daerah yakni Citayam. Tentu dari sisi geografis sangat bertolak belakang dengan para pemohon yang sama sekali tidak mewakili entitas Citayam.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H