Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Kasus Penyelewengan Dana Umat oleh ACT, Akankah Orang Tetap Berdonasi?

6 Juli 2022   10:35 Diperbarui: 12 Juli 2022   23:16 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi penyelewengan dana. | Sumber: Media Indonesia

Lembaga filantropi Aksi Cepat Tanggap (ACT) tengah menjadi sorotan. Hal itu muncul setelah Majalah Tempo merilis hasil investigasi dengan judul "Kantong Bocor Dana Umat."

Kata kunci "ACT" sempat masuk google trends. Di trending topic twitter juga muncul tagar #AksiCepatTilep hingga #JanganPercayaACT.

ACT merupakan lembaga filantropi yang didirikan sejak tahun 2005 yang bergerak di bidang sosial dan kemanusiaan. ACT juga memperluas akrivitasnya mulai dari tanggap darurat bencana, qurban, hingga zakat.

Kini, cabang ACT sudah tersebar di mana-mana bahkan hingga luar negeri. Selain itu, ACT juga diklaim sudah melakukan aksi sebanyak 281.000. 

Namun, dalam hasil investigasi yang dirilis Majalah Tempo mengungkap terdapat penyelewengan dan penyalahagunaan dana umat. 

Salah satu penyelewengan terbesar ialah pengeluaran gaji mantan Presiden ACT dan pendiri yang mencapai Rp. 250 juta perbulan, kemudian pejabat senior vice president Rp. 200 juta, vice president Rp. 80 juta serta direktur eksekutif mendapat gaji Rp. 50 juta.

Edisi sampul majalah Tempo edisi ACT. | Sumber: majalah.tempo.co
Edisi sampul majalah Tempo edisi ACT. | Sumber: majalah.tempo.co

Selain itu, netizen juga geram dengan fasilitas mewah yang diterima oleh petinggi ACT. Mulai dari kendaraan dinas seperti Toyota Alphard, Honda CR-V hingga Mitsubishi Pajero Sport.

Tentu fasilitas itu sangat kontradiktif dengan marwah ACT yang bergerak di bidang kemanusiaan. Banyak yang menilai jika fasilitas tersebut tidak etis karena sejatinya tidak mencerminkan seseorang yang bergerak murni karena kemanusiaan.

Seharusnya seseorang yang bergerak di bidang tersebut jauh dari kata mewah. Hal itu karena bekerja di bidang kemanusiaan menuntut rasa solidaritas tinggi.

Penyelewengan lainnya adalah, mantan Presiden ACT juga diduga memakai dana umat untuk membayar uang muka rumah hingga furnitur.

Dalam sebuah space di twitter yang dibuat oleh Majalah Tempo, kecurigaan Tempo sudah muncul sejak November 2021 lalu. Namun investigasi baru dilalukan dan dirilis baru-baru ini karena sebagian besar tim terkena covid-19.

Ahyudin, mantan pimpinan sekaligus pendiri ACT memutuskan mundur setelah muncul tudingan ini. Ia resmi meninggalkan ACT sekitar bulan Januari 2022.

Tidak hanya itu, ACT juga diduga memakai 13,7 persen dana umat untuk operasional gaji karyawan. Menurut netizen, angka tersebut dinilai terlalu tinggi.

Akan tetapi, hal ini ditanggapi oleh pemimpin baru ACT Ibnu Khajar. Menurutnya ACT bukanlah lembaga zakat, selain itu sebagian besar dana yang dikelola juga donasi umum.

Akan tetapi, potongan sebesar 13,7 persen itu berubuntut panjang. Akibatnya Kemensos akan mencabut izin Penyelenggaraan Pengumpulan Uang dan Barang (PUB) yang telah diberikan kepada ACT pada tahun 2022.

Hal itu karena ACT melanggar Pasal 6 ayat 1 Peraturan Pemerintah Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan.  Pasal tersebut menyebutkan, pembiayaan usaha pengumpulan sumbangan sebanyak-banyaknya 10 persen.

Terbaru, PPATK menyebut jika ada aliran dana yang menyimpang dan masuk ke dalam kegiatan terlarang terorisme. Dugaan ini masih diselidiki oleh PPATK dan Densus 88.

Tudingan itu juga kemudian dibantah oleh Ibnu. Ia menyebut jika ACT tidak pernah terlibat dengan aksi terlarang tersebut 

"Dana yang disebut sebagai dana teroris itu dana yang mana? Jadi kalau dialokasikan dana teroris itu dana yang mana? Kami sampaikan ini supaya lebih lugas karena kami tidak pernah berurusan dengan teroris,"ujar Ibnu (detik.com)

Dampak yang ditimbukan

Melihat ada yang tidak beres dengan manajemen ACT, Ibnu Khajar selaku pimpinan baru ACT menyebut telah merombak kepengurusan ACT pada Januari lalu.

Menurut Ibnu, ACT sudah melakukan restrukturisasi mulai dari mengganti ketua pembina, manajemen, fasilitas, hingga budaya kerja.

Tentu pengurus baru memiliki tanggung jawab yang besar. Di antaranya adalah mengembalikan kepercayaan publik yang hilang.

Pengurus baru harus mengaudit keuangan ACT secara transparan. Selain itu, adanya kasus ACT tentu akan berdampak besar bagi lembaga lain yang bergerak di bidang yang sama.

Tentu masyarakat akan berpikir kembali jika ingin berdonasi pada lembaga filantropi. Donatur juga tidak ingin uang yang diberikan digunakan untuk kegiatan yang tidak semestinya.

Saya sendiri memiliki pengalaman kerja di bidang fundraising di lembaga filantropi. Yayasan tempat saya bernaung baru berdiri sekitar 2 tahun.

Bagi yayasan yang barus berdiri, mencari dana kemanusiaan tidak mudah. Saya yang bekerja di bagian konten harus memutar otak bagaimana caranya membuat konten menarik agar orang lain mau berdonasi.

Bagi yayasan baru, mencari donasi secara organik jelas sulit. Akhirnya kami memilih memakai ads. Meski begitu, ads yang dipasang terkadang ditolak platform karena konten dinilai sensitif.

Jadi, untuk mencari dana yang besar diperlukan usaha ekstra, mulai dari ads, mempromosikan ke teman sendiri, posting di media penggalangan dana populer hingga posting di akun media sosial masing-masing.

Tentu dengan adanya kasus ACT lembaga lain yang bergerak di bidang yang sama akan terkena dampak. Apalagi lembaga yang baru berdiri.

Toh lembaga yang sudah bergerak sejak lama dan diakui oleh banyak orang pun seperti itu. Apalagi lembaga lain yang akun media sosialnya pun tidak centang biru. 

Mungkin saja anggapan ini akan muncul dari para donatur. Untuk itu, menjaga kepercayaan sangatlah sulit. Kepercayaan ibarat kertas, sekali kita remas maka akan sulit kembali ke posisi semula.

Jadi, bisa dibayangkan bukan dampak kasus ACT bagi lembaga lain yang baru merintis. Bukan tidak mungkin lembaga lain kehilangan donatur dan pada akhirnya lembaga filantropi tersebut tutup karena tidak ada donatur.

Untuk itu, pengurus baru ACT  harus bisa membranding kembali jika lembaga yang dipimpinnya telah kembali ke jalan yang benar.

Di luar itu, kasus ACT ini jangan sampai membunuh karakter lembaganya. Akan tetapi penyelewengan dana ini murni dari individu.

Sama seperti kasus korupsi, meski banyak kader partai yang korup tetap saja nama partai bersih tidak ada sanksi sama sekali. Hal itu karena perbuatan korupsi kader adalah tanggung jawab individu. Pun begitu dengan kasus ACT.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun