Santi dan Fidelis adalah dua warga negara yang harus terenggut hak konstitusionalnya karena UU Narkotika. Di beberapa negara, memang narkotika atau ganja sudah dipakai untuk keperluan medis.
Namun, di Indonesia sendiri penggunaan ganja untuk kepentingan medis masih menemui jalan buntu. Utamanya dari sisi regulasi yang melarang penggunaan ganja untuk kesehatan.
Momentum revisi UU Narkotika
Sejauh ini, penggunaan ganja untuk kepentingan medis masih belum diatur. Di dalam Undang-Undang Kesehatan tidak diatur mengenai hal ini.
Apalagi dalam Undang-Undang Narkotika penggunaan narkotika golongan I dilarang untuk kepentingan medis. Hal itu diatur dalam Pasal 8 ayat 1 UU Narkotika yang berbunyi:
Narkotika golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan
Larangan itu kemudian dipertegas dalam penjelasan Pasal 6 ayat 1 huruf a yang menyatakan narkotika golongan I hanya digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan.Â
Narkotika golongan I tidak diperkenankan untuk kepentingan medis atau terapi. Hal itu karena dapat mengakibatkan ketergantungan.
Penjelasan Pasal 6 ayat 1 huruf a dan Pasal 8 ayat 1 inilah yang kemudian digugat ke MK oleh Santi. Menurut Santi, keberadaan pasal tersebut merugikan buah hatinya karena tidak bisa diobati.
Gugatan Santi sudah diajukan sejak tahun 2020 lalu. Namun, hingga saat ini masih belum ada putusan dari MK. Juru bicara MK yakni Fajar Laksana menyatakan gugatan UU Narkotika sidang berjalan cukup lama karena banyaknya saksi ahli yang dihadirkan.
Kasus di atas sejatinya menjadi momentum bagi DPR untuk merevisi UU Narkotika. Pengunaan ganja medis hanya salah satu pasal yang perlu direvisi.
Di luar itu, ada beberapa pasal dalam UU Narkotika yang perlu direvisi karena ambigu. Sehingga dalam praktiknya tidak selaras dan bisa merugikan orang lain.