Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Rencana Cuti Melahirkan 6 Bulan, Apresiasi atau Mendiskreditkan Pekerja Perempuan?

24 Juni 2022   08:40 Diperbarui: 24 Juni 2022   13:34 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Angka kematian anak di Indonesia pada tahun 2020. | sumber: katadata.co.id

Pembahasan RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) masih menjadi perbincangan hingga saat ini. Nantinya RUU ini akan menjadi inisiasi dari DPR.

Latar belakang dibentuknya RUU KIA karena kesejahteraan ibu dan anak satu kesatuan. Anak akan tumbuh dengan baik, cerdas, dan kreatif. Tentu hal itu akan terwujud dari seorang ibu yang terjamin kesejahteraannya dan kesehatannya.

Tentu saja anak yang tumbuh dari ibu yang sehat diharapkan bisa menjadi SDM yang unggul. Apalagi peranan ibu dalam keluarga sangat penting dalam hal ini mendidik anak.

Dengan latar belakang itulah RUU KIA menjadi salah satu undang-undang prioritas dalam prolegnas. Selain itu, indikator dari kesejahteraan ibu dilihat dari Angka Kematian Anak (AKI).

Dihimpun dari katadata, angka kematian anak di Indonesia pada tahun 2020 adalah 28.135 jiwa. Dari data itu, sebanyak 71,97% atau 20.266 berusia 0-28 hari (neonatal).

Sebanyak 19,13% atau 5.386 meninggal dalam rentang usia 29 hari-11 bulan (post-neonatal). Sementara, 8,9% atau sebanyak 2.506 meninggal dalam rentang usia 12-59 bulan.

Angka kematian anak di Indonesia pada tahun 2020. | sumber: katadata.co.id
Angka kematian anak di Indonesia pada tahun 2020. | sumber: katadata.co.id

Mayoritas kematian neonatal yakni 35,2% karena berat badan yang rendah. Tentu hal itu terjadi karena kesehatan ibu masih kurang baik.

Dengan berbekal itu, pemerintah melalui DPR mencoba menginisiasi lewat RUU KIA. Salah satu bentuk hak bagi ibu yang diatur dalam RUU KIA adalah cuti melahirkan selama enam bulan.

Cuti melahirkan selama enam bulan tentu akan memberi kesempatan bagi ibu untuk memberi ASI secara ekslusif. Asupan ASI sangat disarankan selama enam bulan. Setelah itu, bayi bisa diberi makanan pendamping ASI sampai usia dua tahun.

Tentu rencana tersebut patut kita apresiasi karena telah memberi ruang pada ibu untuk menghabiskan waktu lebih lama dengan bayi. Sehingga ketika kembali bekerja tidak terlalu risau meninggalkan bayi karena bisa diberi asupan nutrisi lain.

Meski begitu, dalam praktiknya ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan sebelum RUU KIA diberlakukan.

Harmonisasi

Jika RUU KIA nantinya disahkan, tentu perlu ada harmonisasi dengan undang-undang lain. Selama ini, cuti melahirkan bagi pekerja mengacu pada Pasal 82 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Di dalam UU Ketenagakerjaan, cuti melahirkan diatur selama tiga bulan dengan perhitungan 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah melahirkan.

Jika RUU KIA disahkan, tentu tidak boleh ada regulasi yang tumpang tindih. Jika tidak diserasikan jelas akan menimbulkan ambiguitas, apakah pengusaha harus tunduk pada UU Ketenagakerjaan atau RUU KIA.

Selain itu, apakah implementasi dari RUU KIA hanya menyasar sektor swasta atau berlaku juga untuk aparatur sipil negara (ASN)? 

Sama halnya dengan pegawai swasta, ASN juga memiliki hak cuti sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.

Terkait jenis cuti sendiri kemudian diatur lebih spesifik dalam Pasal 310 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil.

Dalam Peraturan Badan Kepegawaian Negara Nomor 24 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pemberian Cuti Pegawai Negeri Sipil, lamanya cuti melahirkan bagi seorang ASN adalah tiga bulan.

Jadi, bisa dibayangkan undang-undang dan aturan turunan yang harus diselaraskan jika RUU KIA berlaku untuk sektor swasta dan lingkungan ASN.

Untuk itu, aspek ini menjadi sangat penting agar tidak terjadi dualisme aturan. Hal itu hanya akan membuat pelaku usaha menjadi bingung karena ada dua aturan yang harus diikuti.

Jika RUU KIA disahkan maka akan berakibat pada perubahan aturan turunan dari dua induk undang-undang, yakni Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara.

Tentunya agar implementasi RUU KIA berjalan baik, maka seluruh undang-undang beserta aturan turunannya harus diselaraskan dengan RUU KIA. Jika tidak demikian, maka akan menimbulkan dualisme undang-undang.

Jadi, rencana tersebut harus diikuti penyelarasan dengan undang-undang lain yang secara langsung terkena dampak diberlakukannya RUU KIA.

Apresiasi atau mendiskreditkan?

Tentu kita patut mengapresiasi rencana di atas. Pasalnya dari sisi kesehatan ibu dan bayi akan terjamin. Sehingga kebutuhan ASI bagi bayi bisa terjamin.

Selain itu, ibu juga akan memiliki waktu yang lebih lama dengan bayi. Meski patut diapresiasi, rencana tersebut harus penuh perhitungan yang matang. Terutama akibat yang ditimbulkannya.

Dalam RUU KIA, ketentuan pembayaran cuti enam bulan untuk tiga bulan pertama dibayar penuh, kemudian tiga bulan berikutnya dibayar sebesar 75%.

Tidak sedikit pengusaha yang menyarankan agar rencana ini dikaji lebih dalam. Apalagi rencana tersebut akan berdampak pada finansial perusahaan.

Bertambahnya durasi cuti melahirkan dan cuti bagi suami selama 40 hari tentu bisa memberatkan keuangan perusahaan. Apalagi tidak semua perusahaan memiliki keuangan yang kuat.

Dalam RUU KIA juga diatur cuti bagi suami yang mendampingi istri melahirkan selama 40 hari. | sumber: kompas.com
Dalam RUU KIA juga diatur cuti bagi suami yang mendampingi istri melahirkan selama 40 hari. | sumber: kompas.com

Lain lagi jika rencana ini juga diterapkan pada ASN. Tentu untuk finansial akan lebih terjamin karena gaji seorang ASN diatur melalui APBN.

Akan tetapi tidak demikian dengan perusahaan swasta yang tentu kondisi keuangannya tidak semua stabil. Pada akhirnya kebijakan ini ditakutkan akan mendiskreditkan pekerja wanita.

Tentu posisi yang ditinggalkan pekerja wanita harus tetap diisi. Jika mengisi kekosongan itu diberikan pada karyawan baru maka akan mengeluarkan keuangan ekstra.

Siasatnya adalah tugas yang ditinggalkan oleh pekerja yang cuti akan dilimpahkan pada pekerja lain. Tentu ini sangat riskan apalagi jika tidak dibayar lebih.

Adanya rencana ini dikhawatirkan akan mendiskreditkan pekerja perempuan dan mempersempit peluang kerja bagi perempuan. Tentu jika perusahaan ingin merekrut pekerja perempuan harus dengan perhitungan matang.

Misalnya perusahaan akan berpikir dua kali jika sang calon pekerja sudah menikah karena memiliki peluang kehamilan tinggi. Untuk menyiasati ini, banyak perusahaan yang memberi syarat pada pekerja untuk tidak menikah selama waktu tertentu.

Tentu sudah ada hitungan pasti mengenai itu terutama untuk finansial. Satu hal yang jelas, kebijakan ini harus dipikirkan matang agar pekerja perempuan mau pun perusahaan sama-sama diuntungkan.

Pekerja perempuan akan diuntungkan dari segi kesehatan sementara perusahaan dari sisi finansial. Jika tidak dengan solusi yang tepat, maka kebijakan ini hanya akan mendiskreditkan perempuan dan merugikan perusahaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun