Jika RUU KIA disahkan maka akan berakibat pada perubahan aturan turunan dari dua induk undang-undang, yakni Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara.
Tentunya agar implementasi RUU KIA berjalan baik, maka seluruh undang-undang beserta aturan turunannya harus diselaraskan dengan RUU KIA. Jika tidak demikian, maka akan menimbulkan dualisme undang-undang.
Jadi, rencana tersebut harus diikuti penyelarasan dengan undang-undang lain yang secara langsung terkena dampak diberlakukannya RUU KIA.
Apresiasi atau mendiskreditkan?
Tentu kita patut mengapresiasi rencana di atas. Pasalnya dari sisi kesehatan ibu dan bayi akan terjamin. Sehingga kebutuhan ASI bagi bayi bisa terjamin.
Selain itu, ibu juga akan memiliki waktu yang lebih lama dengan bayi. Meski patut diapresiasi, rencana tersebut harus penuh perhitungan yang matang. Terutama akibat yang ditimbulkannya.
Dalam RUU KIA, ketentuan pembayaran cuti enam bulan untuk tiga bulan pertama dibayar penuh, kemudian tiga bulan berikutnya dibayar sebesar 75%.
Tidak sedikit pengusaha yang menyarankan agar rencana ini dikaji lebih dalam. Apalagi rencana tersebut akan berdampak pada finansial perusahaan.
Bertambahnya durasi cuti melahirkan dan cuti bagi suami selama 40 hari tentu bisa memberatkan keuangan perusahaan. Apalagi tidak semua perusahaan memiliki keuangan yang kuat.
Lain lagi jika rencana ini juga diterapkan pada ASN. Tentu untuk finansial akan lebih terjamin karena gaji seorang ASN diatur melalui APBN.
Akan tetapi tidak demikian dengan perusahaan swasta yang tentu kondisi keuangannya tidak semua stabil. Pada akhirnya kebijakan ini ditakutkan akan mendiskreditkan pekerja wanita.