Disclaimer: artikel ini ditujukan untuk PSSI
Indonesia melakoni laga kedua Kualifikasi Piala Asia 2023 melawan Jordania di Jaber Al-Ahmad International Stadium, Kuwait City, Minggu 12 Juni 2022 pukul 02.15 WIB dini hari.
Baca juga: Hasil Kualifikasi Piala Asia: Indoneska Takluk 1-0 dari Jordania
Di laga kedua Kualifikasi Piala Asia 2023, Indonesia harus mengakui keunggulan Jordania dengan skor tipis 1-0 lewat gol yang diciptakan Y. Al-Naimat di menit ke-49.
Dengan hasil ini, Indonesia kini berada di posisi ketiga klasemen sementara grup A di bawah Kuwait dan Jordania.Â
Sebelumnya, Kuwait meraih kemenangan atas Nepal dengan skor 4-1. Dengan demikian, baik Indonesia dan Kuwait masih memiliki kans untuk lolos ke Piala Asia 2023 sebagai runner up terbaik.
Secara matematis, Indonesia masih nemiki peluang lolos karena bertemu dengan tim terlemah di grup A yaitu Nepal dan Kuwait bertemu tim terkuat di grup A.
Namun, ada satu hal yang menarik dari hasil ini untuk kita ulas di artikel singkat ini. Siapakah sosok di balik kekalahan Indonesia dari Jordania?
Mari kita mengingat sedikit ke belakang tepatnya saat Indonesia berhasil menang melawan Kuwait pada laga perdana Kualifikasi Piala Asia kemarin.
Kemenangan itu menjadi spesial. Hal itu karena kita terakhir kali menang dari Kuwait tahun 1980. Itu artinya sudah 42 tahun kita puasa kemenangan dari Kuwait.
Lantas, siapakah sosok penting di balik kemenangan historis itu? Tentu kita akan berpikir jika STY, staff kepelatihan, dan pemain adalah sosok penting itu.
Namun tidak demikian dari sudut pandang federasi sepak bola kita yaitu PSSI. Menurut mereka, sosok penting di balik kemenangan heroik itu adalah Iwan Bule sang ketua umum.
Klaim itu bukan datang dari media lain, tapi dari website resmi PSSI. Dengan bangganya di situ disebutkan jika Iwan Bule mempunyai peran penting.
Dikatakan pula, selama Iwan Bule menjadi ketua PSSI telah menorehkan prestasi cemerlang, di antaranya finalis SEA Games 2019, finalis Piala AFF 2020 dan meraih medali perunggu SEA Games 2021.
Jangan harap Anda temukan kata juara di sana karena memang tidak ada. Nyatanya itu adalah prestasi cemerlang bagi PSSI.
Coba Anda bayangkan jika di laga melawan Kuwait kemarin Timnas Indonesia kalah. Siapakah sosok di balik kekalahan itu? Atau laga melawan Jordania, siapakah sosok di balik kekalahan itu?
Apakah PSSI akan berani mengakui jika itu adalah kegagalan mereka? Tentu saja tidak. Semua kegagalan itu bukan dari PSSI, tapi dari pelatih yakni Shin Tae-yong.
Mengapa demikian? Mari kita lihat berita yang beredar kali ini. PSSI berencana akan mengevaluasi kinerja Shin Tae-yong.Â
Menurut mereka Shin Tae-yong keteteran karena harus menangani tiga timnas sekaligus. Keputusan ini akan dibicarakan usai Kualifikasi Piala Asia.
Nantinya, Shin Tae-yong hanya akan difokuskan menangani Timnas U-20 untuk senior dan U-23 akan diserahkan pada pelatih lain.
Sebetulnya pernyataan itu bisa kita maknai PSSI tengah memberikan ancaman pada STY jika tidak berhasil membawa Indonesia ke Piala Asia 2023, maka kewenangan STY akan disunat yaitu hanya menangani U-20 saja.
Selain itu, PSSI juga sebenarnya menilai jika STY telah gagal menangani timnas U-23 dan senior. Hal itu karena di Piala AFF 2020 lalu hanya menjadi runner up dan tentu target utamanya juara.
Begitu juga dengan SEA Games 2021, target awal adalah medali emas tetapi yang dicapai hanya perunggu. Dengan kata lain, STY tidak bisa memenuhi semua target yang ditetapkan PSSI dan dianggap gagal.
Apalagi jika STY tidak berhasil membawa Indonesia ke Piala Asia maka ia tetap dicap sebagai pelatih gagal karena tidak bisa memenuhi target PSSI yaitu juara Piala AFF 2020, medali emas SEA Games 2021, dan Piala Asia 2023.
Jadi, ukuran keberhasilan seorang pelatih dari kacamata PSSI bukan dilihat dari progres permainan Timnas Indonesia, melainkan hasil akhir (prestasi).
Hal itu yang diungkapkan salah satu pimpinan PSSI yaitu Haruna Sumitro. Beliau menilai jika hasil jauh lebih penting daripada proses.
Hal inilah yang membuat pecinta sepak bola tanah air geleng-geleng kepala. PSSI masih saja memilih jalan pragmatis, tidak ingin menikmati proses.
Tim sekelas Liverpool pun harus mengontrak Jurgen Klopp cukup lama untuk membuat skuat yang top di musim ini.
Padahal sudah jelas jika gonta-ganti pelatih bukan solusi, kita seakan tidak belajar dari kegagalan sebelumnya. Jika STY tidak melatih timnas senior, maka usaha yang ia lakukan sia-sia.
Padahal masih ada Piala AFF 2022 yang akan datang. Jadi, masih ada event tim senior yang akan dihadapi tahun ini. Jika STY diganti, akan seperti apa timnas kita di Piala AFF nanti?
Itu sebabnya jika timnas gagal, maka biang keladi dari kegagalan itu adalah pelatih bukan dari dalam tubuh PSSI sendiri.
Pun begitu, jika pemain mentas ke luar negeri atau timnas meraih kemenangan heroik seolah-olah itu adalah hasil kinerja PSSI dan mengesampingkan peran pelatih.
PSSI seolah-olah cuci tangan dan tentu tangannya tak ingin kotor. Minimnya prestasi timnas selalu menjadi ukuran jika itu adalah kegagalan seorang pelatih bukan dari federasi sendiri.
Jika terus demikian, maka kita hanya bisa bermimpi jika Timnas Indonesia akan berprestasi. Pelatih top manapun butuh waktu untuk menciptakan tim yang hebat.
Timnas yang hebat tentu dimulai dari federasi yang sehat. Seharusnya PSSI fokus membenahi sepak bola Indonesia. Mulai dari kompetisi, kualitas liga, fasilitas dan masih banyak lagai.
Tidak fair rasanya jika kegagalan timnas hanya mengkambing hitamkan pelatih dan PSSI seolah-olah lepas tanggung jawab dari kewajiban mereka.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H