Selain bukber, ketika menginap di kost teman saya, saya kerap dibangunkan sahur. Bahkan, teman saya sampai masak dan ikut sahur bersama.
Kedua teman saya ikut berpuasa, tentu saja tidak sampai maghrib. Jika siang lapar, ya makan. Ketika mau makan, mereka berdua selalu mencari tempat sepi demi menghormati orang berpuasa.
Begitulah pertemanan kami, saling menghormati kepercayaan masing-masing. Perbedaan, tidak selau membawa kebencian atau permusuhan, justru mendatangkan rasa kebersamaan.
Sebagai negara yang beragam, mulai dari suku, ras, bahasa, dan agama. Hendaknya kita merawat perbedaan itu. Toh di dalam agama saya dijelaskan perbedaan itu bertujuan agar kita saling mengenal.
Saya selalu bosan dan heran ketika ada orang-orang yang masih ribut mengenai ucapan selamat pada agama lain. Bagi saya, polemik itu sudah tidak perlu dibahas setiap tahunnya.
Ketika saya memberi ucapan selamat pada agama lain, tidak ada niatan apapun kecuali menjalankan kewajiban sebagai makhluk sosial. Tidak lebih.
Pun begitu dengan masalah di bulan ramadhan, masalah klasik yang selalu dibahas adalah warung maupun restoran harus diturup demi "menghormati orang berpuasa."
Toh, seharusnya kita juga berpikir bahwa di luar sana ada yang tidak berpuasa, bahkan tidak semua muslim berpuasa karena satu lain hal. Orang-orang yang tak puasa ini justru akan kesulitan mencari makanan.
Warung makan yang ditutup tidak memberi tantangan bagi orang berpuasa. Saya sendiri heran, kok masih ada orang yang batal puasa karena tergoda makanan.
Nah, mereka-mereka inilah yang seharusnya dipertanyakan keimanannya. Masa keimanan goyah karena makanan padang. Hehehe
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H