Di dalam pasal 75, terdapat satu ketentuan pengecualian melakukan aborsi. Alasan pertama adalah adanya alasan medis, dan alasan kedua adalah korban perkosaan.
Jaminan bagi korban perkosaan untuk melakukan aborsi juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.
Aturan lainnya adalah peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Aborsi atas Indikasi kedaruratan Medis dan Kehamilan Akbiat Perkosan.
Meski ada payung hukumnya, mereka yang mendapatkan pengecualian itu sering kali sulit mendapatkan layanan aborsi yang aman. Sehingga, opsi yang dipakai adalah aborsi illegal seperti minum obat-obatan.
Di dalam Pasal 194 UU Kesehatan diatur larangan mengenai aborsi jika tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 75 yang berbunyi:
Setiap orang yang sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dakam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak 1 miliar rupiah.
Pasal 194 di atas menjadi pertanyaan, khususnya pribadi penulis sendiri. Frasa setiap orang itu, siapa saja. Apakah mereka yang memaksa melakukan aborsi termasuk ke dalam frasa setiap orang tadi atau tidak?
Jika melihat rumusannya, maka tidak diatur dengan tegas tentang si pemaksa aborsi. Aturan lain yang merujuk itu terdapat dalam Pasal 347 dan 348 KUHP.
Meski tidak disebut pemaksaan aborsi, akan tetapi di dalam kedua pasal itu terdapat frasa “tanpa persetujuan” dan “persetujuan.”
Frasa tanpa persetujuan sendiri bisa diartikan adanya pemaksaan aborsi. Untuk itu, sama halnya dengan perkosaan, pengaturan aborsi harus sejalan dengan UU TPKS yaitu perlindungan bagi korban.
Implementasi
Hal terpenting dalam penegakkan hukum adalah impelementasi agar tercipta keadilan. Untuk menciptakan hukum yang adil, menurut hemat penulis ada dua syarat yang harus dipenuhi.