Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Kasus Marshel Widianto: Bolehkah Membeli Konten Pornografi?

8 April 2022   16:21 Diperbarui: 11 April 2022   08:58 2083
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini dibuat hanya karena ingin menjawab beberapa pertanyaan yang tersebar di media sosial.

Nama Gusti Ayu Dewanti alias Dea OnlyFans ramai dibahas tak kala ia terseret kasus pornografi. Sebelumnya, Dea sempat tampil dalam podcast Deddy Corbuzier.

Di dalam video itu, Dea menyebut ada rasa kepuasan tersendiri setelah melakukan hal itu. Puas di sini adalah diabadikan dalam data internet. 

Nama Dea OnlyFans menjadi trending topic di Twitter. Tentu saja ramai dibicarakan. Tidak lama setelah tampil di podcast Deddy Corbuzier, Dea OnlyFans kemudian ditetapkan sebagai tersangka kasus pornografi.

Dea sendiri ditangkap karena memperjualbelikan konten pornografi bersama sang kekasih lewat platform OnlyFans. 

OnlyFans sendiri dirilis pada tahun 2016 di Inggris. Awalnya media sosial ini berbasis langganan, di mana pengguna bisa menjual atau membeli konten orisinal. 

Dari hasil penjualan konten pornografi tersebut, Dea OnlyFans berhasil meraup cuan hingga puluhan juta rupiah.

Dalam perkembangannya, kasus tersebut menyeret pesohor tanah air bernama Marshel Widianto. Dari informasi yang beredar, Marshel menjadi salah satu pembeli konten Dea.

Marshel sendiri mengaku membeli konten tersebut seharga Rp 1.4 juta. Setelah pembayaran, Marshel mendapat tautan Google Drive yang berisi 76 video maupun foto tanpa busana Dea.

Alasan Marshel membeli konten tersebut karena merasa iba pada Dea. Ia menyebut hanya ingin membantu saja. Lebih lanjut, Marshel mengaku hanya sekali menonton dan setelah itu dihapus.

Marshel pun menyebut jika ia tidak menyimpan (unduh) atau menyebarkan tautan itu. Komika berusia 25 tahun itu mengatakan video tersebut hanya konsumsi pribadi dan tidak disebarkan.

Dipanggilnya Marshel sebagai saksi dalam kasus Dea OnlyFans mendapat beragam komentar, khususnya di kalangan komika.

Bintang Emon dalam unggahan di Instagram pribadinya menyentil kasus ini. Pada intinya, Bintang Emon menyebut jika pihak kepolisian gerak cepat untuk kasus pornografi.

Padahal, kasus lain seperti klitih sedang ramai dibicarakan. Senada dengan Bintang Emon, komika Kiki Saputri yang dikenal dengan roastingnya menyampaikan keresahannya.

Dalam Instagram pribadinya, intinya Kiki mempertanyakan, Marshel sendiri sudah dewasa, terus dia membeli konten tersebut, lantas apa yang salah. Kurang lebih seperti itu.

Respon seperti itu ramai juga di media sosial dan menjadi bahan gunjingan netizen. Ada yang membela Marshel ada juga yang tidak.

Sebagian kalangan menilai, kasus ini tetap harus diusut, jangan sampai pornografi dinormalisasi. Lantas, apakah ada larangan membeli konten pornografi?

Jual Beli Konten Pornografi

Pada prinsipnya, pornografi dilarang. Baik itu berupa video, gambar, maupun bentuk lain yang bermuatan asusila. Hal itu ditegaskan dalam UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

Dalam poin ini, saya akan membahas dari sisi hukum perdata, yaitu jual beli konten pornografi. Jual beli termasuk dalam ranah hukum perjanjian.

Agar suatu perjanjian sah secara hukum, maka harus memenuhi syarat yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Setidaknya ada 4 syarat agar perjanjian sah secara hukum.

Pertama, adanya kesepakatan. Sepakat di sini adalah kedua belah pihak melakukan perjanjian itu tanpa adanya paksaan dari pihak mana pun. Artinya, kesepakatan itu muncul dari diri sendiri bukan dipaksa atau tekanan orang lain.

Kedua, cakap. Cakap di sini bisa dilihat dari dua sisi, yaitu umur dan dari sisi kejiwaan. Seseorang disebut cakap apabila dari sisi umur sudah cukup (dewasa) dan kejiwaannya sehat.

Jika dua unsur itu tidak terpenuhi, maka tidak bisa disebut cakap. Meskipun telah dewasa akan tetapi akalnya tidak sehat, maka orang tersebut tidak cakap. Pun sebaliknya.

Ketiga, hal tertentu. Hal tertentu adalah objek yang menjadi perjanjian itu sendiri.

Keempat, kausa halal. Yang dimaksud dengan kausa halal adalah perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan UU, ketertiban umum, dan kesusilaan.

Dalam kasus jual beli konten pornografi yang dilakukan oleh Marshel dan Dea, jelas kiranya syarat 1 sampai 3 terpenuhi.

Keduanya sepakat soal harga, cakap, dan tentu ada objek jual beli (konten pornografi). Akan tetapi, bagaimana dengan syarat keempat? Jelas tidak terpenuhi.

Pornografi sendiri jelas dilarang. Maka perjanjian jual beli ini batal demi hukum karena objek yang menjadi jual beli tidak memenuhi kausa halal.

Dari sudut perdata, sebetulnya sudah jelas apa yang dilakukan oleh Marshel dan Dea salah. Apalagi dari sisi hukum pidana.

Lantas bagaimana dari sudut pandang hukum pidana? Di dalam hukum pidana sendiri, pornografi jelas dilarang.

Seperti yang sudah dijelaskan di atas, Dea OnlyFans membuat dan mendapatkan keuntungan dari itu. Jelas hal ini salah karena bertentangan dengan Pasal 4 UU Pornografi.

Selain itu, apa yang dilakukan oleh Dea juga bertentangan dengan UU ITE karena telah menyebarkan data internet yang bermuatan konten asusila, sehingga data tersebut bisa diakses oleh orang.

Lantas, bagaimana dengan kedudukan berbayar tersebut? Apakah menjadi suatu pengecualian? Meski konten tersebut diperjualbelikan dan tidak semua orang bisa mengakses itu tetap saja dilarang.

Pada intinya, jika konten tersebut bisa diakses oleh publik, meski berbayar tetap saja dilarang. Berbeda halnya jika konten yang dibuat tersebut tidak disebarkan ke media mana pun, artinya hanya kosumsi pribadi.

Hal itu tercantum dalam penjelasan Pasal 6 UU Pornografi. Misalnya jika anda merekam aktivitas seksualitas anda, tapi disimpan oleh sendiri, tidak disebarkan pada orang lain, itu sah-sah saja.

Tentu apa yang dilakukan Dea berbeda. Ia telah menyebarkan konten itu di media yang bernama OnlyFans. Sehingga orang lain bisa mengakses video tersebut.

Lantas, bagaimana dengan seseorang yang membeli konten itu? Jika kita mengacu pada Pasal 5 UU Pornografi, mengunduh (download) pun dilarang.

Jadi, jelas kiranya dari sisi hukum pidana maupun perdata hal ini salah. Namun, yang perlu digarisbawahi, Marshel dipanggil oleh kepolisian hanya sebagai saksi.

Marshel diharapkan bisa membantu kepolisian dalam menyelesaikan kasus ini. Lalu, mengapa harus Marshel yang dipanggil tapi pembeli yang lain tidak?

Untuk menjawab ini, saya hanya berasumsi begini. Tentunya penyidik bertanya siapa saja yang membeli konten Dea, dan Dea menjawab jika M membeli kontennya.

Artinya, Dea sendiri yang memberi tahu jika seorang public figure membeli konten dirinya. Jadi, dari posisi ini M yang terseret. 

Jadi, poin utamanya adalah transaksi jual beli konten pornografi itu sendiri yang dilarang. Di sini, polisi hanya meminta keterangan pada M apakah ia ikut menyebarkan konten tersebut atau tidak.

Jadi, dalam melihat kasus ini kita harus utuh. Jangan sampai perbuatan tersebut seperti dinormalisasi. Padahal, efek pornografi jelas merugikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun