Lantas, bagaimana dengan kedudukan berbayar tersebut? Apakah menjadi suatu pengecualian? Meski konten tersebut diperjualbelikan dan tidak semua orang bisa mengakses itu tetap saja dilarang.
Pada intinya, jika konten tersebut bisa diakses oleh publik, meski berbayar tetap saja dilarang. Berbeda halnya jika konten yang dibuat tersebut tidak disebarkan ke media mana pun, artinya hanya kosumsi pribadi.
Hal itu tercantum dalam penjelasan Pasal 6 UU Pornografi. Misalnya jika anda merekam aktivitas seksualitas anda, tapi disimpan oleh sendiri, tidak disebarkan pada orang lain, itu sah-sah saja.
Tentu apa yang dilakukan Dea berbeda. Ia telah menyebarkan konten itu di media yang bernama OnlyFans. Sehingga orang lain bisa mengakses video tersebut.
Lantas, bagaimana dengan seseorang yang membeli konten itu? Jika kita mengacu pada Pasal 5 UU Pornografi, mengunduh (download) pun dilarang.
Jadi, jelas kiranya dari sisi hukum pidana maupun perdata hal ini salah. Namun, yang perlu digarisbawahi, Marshel dipanggil oleh kepolisian hanya sebagai saksi.
Marshel diharapkan bisa membantu kepolisian dalam menyelesaikan kasus ini. Lalu, mengapa harus Marshel yang dipanggil tapi pembeli yang lain tidak?
Untuk menjawab ini, saya hanya berasumsi begini. Tentunya penyidik bertanya siapa saja yang membeli konten Dea, dan Dea menjawab jika M membeli kontennya.
Artinya, Dea sendiri yang memberi tahu jika seorang public figure membeli konten dirinya. Jadi, dari posisi ini M yang terseret.Â
Jadi, poin utamanya adalah transaksi jual beli konten pornografi itu sendiri yang dilarang. Di sini, polisi hanya meminta keterangan pada M apakah ia ikut menyebarkan konten tersebut atau tidak.
Jadi, dalam melihat kasus ini kita harus utuh. Jangan sampai perbuatan tersebut seperti dinormalisasi. Padahal, efek pornografi jelas merugikan.