Kedua, cakap. Cakap di sini bisa dilihat dari dua sisi, yaitu umur dan dari sisi kejiwaan. Seseorang disebut cakap apabila dari sisi umur sudah cukup (dewasa) dan kejiwaannya sehat.
Jika dua unsur itu tidak terpenuhi, maka tidak bisa disebut cakap. Meskipun telah dewasa akan tetapi akalnya tidak sehat, maka orang tersebut tidak cakap. Pun sebaliknya.
Ketiga, hal tertentu. Hal tertentu adalah objek yang menjadi perjanjian itu sendiri.
Keempat, kausa halal. Yang dimaksud dengan kausa halal adalah perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan UU, ketertiban umum, dan kesusilaan.
Dalam kasus jual beli konten pornografi yang dilakukan oleh Marshel dan Dea, jelas kiranya syarat 1 sampai 3 terpenuhi.
Keduanya sepakat soal harga, cakap, dan tentu ada objek jual beli (konten pornografi). Akan tetapi, bagaimana dengan syarat keempat? Jelas tidak terpenuhi.
Pornografi sendiri jelas dilarang. Maka perjanjian jual beli ini batal demi hukum karena objek yang menjadi jual beli tidak memenuhi kausa halal.
Dari sudut perdata, sebetulnya sudah jelas apa yang dilakukan oleh Marshel dan Dea salah. Apalagi dari sisi hukum pidana.
Lantas bagaimana dari sudut pandang hukum pidana? Di dalam hukum pidana sendiri, pornografi jelas dilarang.
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, Dea OnlyFans membuat dan mendapatkan keuntungan dari itu. Jelas hal ini salah karena bertentangan dengan Pasal 4 UU Pornografi.
Selain itu, apa yang dilakukan oleh Dea juga bertentangan dengan UU ITE karena telah menyebarkan data internet yang bermuatan konten asusila, sehingga data tersebut bisa diakses oleh orang.