Harga minyak goreng saat ini diduga sedang "digoreng" sehingga menjadi mahal. Permasalahan minyak goreng seakan tidak usai, mulai dari tingginya harga eceran tertinggi, hingga kelangkaan minyak itu sendiri.
Tingginya harga minyak goreng jelas merugikan rakyat, sektor usaha kecil jelas harus mengatur strategi agar usahanya tetap berjalan di tengah pandemi.
Indikasi kenaikan minyak goreng sendiri sudah tercium pada akhir Agustus 2021. Kala itu, harga minyak goreng menjadi Rp. 20 ribu perliter dari sebelumnya Rp. 14 ribu.
Kenaikan harga minyak goreng sendiri dipicu oleh kenaikan harga bahan mentah minyak yaitu crude palm oil (CPO) di pasar internasional. Kenaikan tersebut dipicu oleh pasokan bahan baku minyak nabati lain.
Selain itu, konflik antara Rusia dan Ukraina yang saat ini masih berlangsung dinilai membuat harga CPO tinggi. Sehingga, harga minyak tetap tinggi.
Pada pertengahan Januari 2022, pemerintah memberlakukan subsidi minyak goreng dengan dana sebesar Rp. 6.7 triliun. Dengan subsidi tersebut, harga minyak berkisar Rp. 14 ribu perliter.
Akibat kebijakan itu, banyak masyarakat yang berbondong-bondong memborong minyak dan terjebak panic buying.
Banyak ibu-ibu rumah tangga yang rela mengantre dari pagi di mini market demi mendapatkan minyak dengan harga miring. Namun, kebijakan tersebut justru gagal total.
Kebijakan tersebut dinilai melawan mekanisme pasar. Akibat kebijakan itu, terjadi disparitas tinggi antara harga minyak dalam negeri dan luar negeri.
Akibatnya, minyak goreng justru menjadi langka dan sulit ditemukan. Bahkan, ada beberapa oknum yang sengaja menimbun minyak tersebut demi mendapat keuntungan lebih.
Tidak lama berselang, pemerintah mencabut kebijakan tersebut dan harga eceran tertinggi (HET) dikembalikan pada pasar. Akibatnya, harga minyak goreng kembali naik. Namun, stok justru melimpah.
Indikasi Kartel
Banyak yang menduga, di balik langka dan tingginya harga minyak goreng terjadi karena ada peran mafia bahkan lebih dari itu ada indikasi kartel.
M. Lutfi selaku Menteri Perdagangan bahkan disebut sudah mengantongi nama-nama mafia minyak tersebut dan rencananya akan diumukan Senin, 21 Maret kemarin.
Nyatanya, sampai tulisan ini disunting belum ada nama-nama yang dipublikasikan baik oleh Mendag maupun oleh kepolisian.
Lantas, bagaimana dengan indikasi kartel, apakah benar adanya? Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai ada indikasi kartel di balik melambungnya harga minyak goreng.
KPPU bahkan sudah memanggil 20 pelaku usaha minyak goreng guna menyelidiki dugaan kartel tersebut. Dugaan lainnya adalah, beberapa perusahaan besar kompak menaikkan harga minyak goreng secara bersamaan.
Meski tidak disebutkan secara eksplisit, nyatanya ada beberapa perusahaan yang dicurigai melakukan hal itu.
Ukay selaku komisaris KPPU menyebut jika perusahaan tersebut memiliki perkebunan kelapa sawit sebagai bahan mentah minyak goreng.
Ini perusahaan minyak goreng relative menaikkan harga minyak goreng secara bersama-sama walaupun mereka masing-masing memiliki kebun sawit sendiri. Perilaku semacam ini bisa dimaknai sebagai sinyal bahwa apakah terjadi kartel. (kompas.com)
Dari beberapa sumber yang saya dapatkan, setidaknya ada empat perusahaan minyak goreng yang menguasi pangsa pasar Indonesia.
Setidaknya, empat perusahaan tersebut mendominasi pasar sebanyak 46,5 persen.
Keempat perusahaan tersebut adalah Grup Wilmar (29,3 persen), Grup Musim Mas (27,6 persen), Grup Indofood (18 persen), dan Grup Sinarmas (9,8 persen)
Keempat perusahaan tersebut memiliki perkebunan kelapa sawit yang menjadi bahan baku minyak goreng. Kebun sawit mereka diduga menjadi pemasok sebagian besar bahan CPO minyak goreng di grup masing-masing.
Seperti yang diketahui, beberapa merek minyak goreng terkenal justru merupakan bagian dari grup di atas. Misalnya untuk Grup Wilmar, Wilmar menjual minyak goreng Sania, SIIP, Fortune, Sovia, Mahkota dan Goldie.
Grup Indofood memiliki produk minyak goreng Bimoli, Delima, dan Happy. Grup Musim Mas sendiri menjual produk minyak goreng bermerek Sunco, Amago, Tropical, dan Vioal. Sedangkan Sinarmas memiliki produk minyak gireng Filma.
Kekayaan konglomerat tersebut juga naik drastis, Martua Sitorus selaku orang di balik Wilmar kekayaannya naik drastis. Pada 2020, kekayaannya sebesar Rp. 20 triliun dan pada akhir 2021 menjadi Rp. 40 triliun.
Anthony salim sebagai orang terkaya melalui Indofood juga mengalami kenaikkan harta tinggi. Pada 2020, kekayaan Anthony Salim sebesar Rp. 84, 42 triliun dan pada akhir 2021 mencapai Rp. 121 triliun.
Bachtiar Karim selaku orang di balik Grup Musim Mas juga mengalami kenaikkan kekayaan yang tinggi. Dalam rentang waktu 2020-2021, kekayaannya menjadi Rp. 50 triliun dari sebelumnya Rp. 44,3 triliun.
Keluarga Eka Widjaya juga mengalami hal yang sama, pada akhir 2021 harta kekayaannya mencapai Rp. 138,8 triliun.
Jika benar ada indikasi kartel di balik harga minyak goreng, maka pemerintah seharusnya mengusutnya dengan cepat dan membawa ke jalur hukum.
Akan sangat memalukan jika negara justru takluk oleh segelintit orang saja, apalahi mafia. Untuk itu, jika memang benar adanya dugaan kartel ini harus dituntaskan apalagi jika ada indikasinya.
Apalagi sekitar 12 tahun lalu, kasus kartel minyak goreng pernah terjadi di Indonesia. Pada 2010 lalu, KPPU menghukum 20 produsen minyak goreng dengan mengharuskan membayar denda sebesar Rp. 299 miliar karena terbukti membentuk kartel.
Kartel jelas dilarang karena melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Mungkin, sebagian orang bercita-cita ingin adanya pasar bebas di mana pemerintah tidak ikut campur di dalamnya. Akan tetapi, pasar bebas jika tidak dibarengi dengan aturan hanya akan membuat sebagian perusahaan saja yang untung.
Perusahaan kecil yang kalah saing oleh perusahaan besar akan bangkrut akibat monopoli pasar tersebut. Untuk itu, pemerintah selaku representasi negara harus menjaga agar persaingan usaha tetap sehat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H