Akibatnya, minyak goreng justru menjadi langka dan sulit ditemukan. Bahkan, ada beberapa oknum yang sengaja menimbun minyak tersebut demi mendapat keuntungan lebih.
Tidak lama berselang, pemerintah mencabut kebijakan tersebut dan harga eceran tertinggi (HET) dikembalikan pada pasar. Akibatnya, harga minyak goreng kembali naik. Namun, stok justru melimpah.
Indikasi Kartel
Banyak yang menduga, di balik langka dan tingginya harga minyak goreng terjadi karena ada peran mafia bahkan lebih dari itu ada indikasi kartel.
M. Lutfi selaku Menteri Perdagangan bahkan disebut sudah mengantongi nama-nama mafia minyak tersebut dan rencananya akan diumukan Senin, 21 Maret kemarin.
Nyatanya, sampai tulisan ini disunting belum ada nama-nama yang dipublikasikan baik oleh Mendag maupun oleh kepolisian.
Lantas, bagaimana dengan indikasi kartel, apakah benar adanya? Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai ada indikasi kartel di balik melambungnya harga minyak goreng.
KPPU bahkan sudah memanggil 20 pelaku usaha minyak goreng guna menyelidiki dugaan kartel tersebut. Dugaan lainnya adalah, beberapa perusahaan besar kompak menaikkan harga minyak goreng secara bersamaan.
Meski tidak disebutkan secara eksplisit, nyatanya ada beberapa perusahaan yang dicurigai melakukan hal itu.
Ukay selaku komisaris KPPU menyebut jika perusahaan tersebut memiliki perkebunan kelapa sawit sebagai bahan mentah minyak goreng.
Ini perusahaan minyak goreng relative menaikkan harga minyak goreng secara bersama-sama walaupun mereka masing-masing memiliki kebun sawit sendiri. Perilaku semacam ini bisa dimaknai sebagai sinyal bahwa apakah terjadi kartel. (kompas.com)
Dari beberapa sumber yang saya dapatkan, setidaknya ada empat perusahaan minyak goreng yang menguasi pangsa pasar Indonesia.